[caption id="" align="alignnone" width="417" caption="Reality is Conviction"][/caption] Bab sebelumnya | Bab berikutnya "Femininity is deceptively the best agent to facilitate 'sensitive' courtship; one, multiple favors, granted eventually, at a time." ~anonymous Bangkalan, Madura, 24 April 2035. Leah membuka jendela mobil, batang rokok terselip antara jari telunjuk dan jari tengahnya. Mobil dalam keadaan terparkir saat Angel membuka pintu, mendekati sisi Leah yang berada di ruang kemudi. “Tunggu aku di sini, ga lama, paling lama seperempat jam.” Kata Angel. Kelopak mata bagian bawah Leah memperlihatkan eyeshadow berwarna hitam, menebal sampai ke sisi luar kelopak mata. Batang hidung mancung, garis lesung pipi dan potongan rambut side cut-bob semakin memperlihatkan tema gothic. Salah satu alis mata palsunya naik ketika Angel menyuruhnya untuk menunggu selama seperempat jam. “Selama itu aku boleh merokok?” “I'd rather you not.” Angel mengerutkan dahi, merampas batang rokok dari tangan Leah saat mengatakan 'you'.
“Fifteen minutes is helluva timespan to kill, hon, gimme a break!” Leah mengambil sebatang rokok dari kemasannya yang tersimpan di kompartemen lipat di samping dashboard.
“Whatever.” Angel membuang batang rokok ke tanah lalu menginjaknya. Dia melempar punggungnya ke arah Leah, berjalan agak tersendat karena kondisi kaki yang belum pulih sempurna ke arah sebidang kafe. Sepetak baliho dengan lampu sorot menunjukkan ilustrasi nama dan tema dari kafe. Ikon sebuah kendi dengan potongan jelaga hitam di bawahnya dan garis berpusar di atasnya, kombinasi warna-warna gelap mendominasi latar belakang, mewakili nama dari kafe, Night Pot. Dari lobby kafe terlihat instrumen-instrumen hisap berbentuk seperti kendi dengan sejumlah corong lubang yang terhubung dengan pipa elastis, terpasang di tengah-tengah meja. Sekat dinding kaca memisahkan lebih dari setengah meja yang terpasang dengan instrumen serupa dari meja-meja regular lain. Seorang wanita melambaikan tangan dari barisan meja dengan instrumen hisap terpasang. Bagian atas tubuhnya ditutupi oleh jaket longgar beludru coklat dengan rambut hewan artifisial menyembul dari kerah jaket. Perhatian Angel tertuju pada individu tersebut. Angel berjalan mendekatinya. “Kamu...,” Angel mengenal wanita itu, namun dia tidak mengucapkan namanya. “Cewek yang kemaren di apartemen-” Mindy mendekatkan jari telunjuk ke bibirnya yang terpoles dengan lipstik merah maroon, mendesis, sebuah ekspresi untuk menutup mulut. Angel membalas dengan anggukan pelan. “Uhm-” “Duduk, buat sikap normal, jangan bertingkah seperti badut.” Telapak tangan Mindy tampak seperti jestur untuk memersilahkah lawan bicara duduk. Dari persepsi Angel, telapak tangan Mindy terbuka, menunjukkan sekeping koin dengan tepian yang telah terkikis membentuk barisan-barisan garis, kemungkinan besar kode. Angel mengikuti saran untuk duduk lalu merogoh salah satu kantung dalam tas. Dia meletakkan koin di sisi tepi meja lawan bicara. Mindy mengorek koin tersebut, menempelkan kedua koin lalu memutar sisi-sisinya. Tepian garis kedua koin membentuk pola yang saling mengisi. “Uang tunai.” Kata Mindy dengan sebuah kalimat bernada datar. Selembar amplop kertas putih polos terselip di antara sekat-sekat penuh barang pribadi di dalam tas Angel. Dia menyerahkan lembar amplop tersebut. “Jumlahnya pas.” “O.K.” Mindy menerima amplop putih, meletakkannya ke dalam tas. Selembar folder kertas berwarna coklat meluncur di meja ke arah Angel, dia menangkap folder sebelum sempat jatuh. “Apa ini?” Tanya Angel. “Buka aja, ada foto di dalamnya.” Tiga lembar foto terpampang di meja. Angel hanya mengenal dua dari tiga individu dalam foto-foto tersebut. “Ini Mara dan kalau tidak salah yang ini, Bu Atika. Terus siapa orang satu ini?” “Doktor Harry Burness.” Mindy menghisap asap putih pekat dari salah satu pipa elastis lalu menghembuskannya. “Bu Atika ninggalin jejak transaksi. Surat adopsi dan keterangan identitas Mara sekarang ada di tangan Doktor Burness. Kami tahu dari melacak penghubungnya.” “Oh, O.K.” Wajah Angel tampak kebingungan, namun dia tidak tahu harus bertanya mulai dari mana. “Satu juta US dollar atau mungkin sekarang lebih, itu nilai transaksinya. Transaksi awalnya hanya 50.000 US dollar. Tapi ada jejak transaksi baru, intervalnya acak dari rekening berbeda, kemungkinan, yah, pengirimnya juga beda. Tom Tom kaget waktu total transaksi menyentuh batas jutaan dollar. Dia baru tahu, ada anak asuh yatim piatu bernilai sebesar itu.” Kedua kelopak mata Angel terbelalak. “Sa-satu juta US dollar?” Mindy kembali menghisap pipa elastis yang tersambung dengan kendi, menghembuskannya. “Yup, kemungkinan besar biaya tutup mulut dan tetek bengek lain, aku tidak tahu detil persis lainnya.” Mulut Angel terbuka, namun segera tertutup. Dia tidak mampu mengucapkan kalimat konstruktif atau melanjutkan dengan sebuah pertanyaan berarti. “Tom Tom merasa beruntung karena kasusmu, terutama karena Doktor Burness terlibat di sini. Jackpot.” “Heh? Kenapa?” “Doktor Burness tercatat memiliki masa kerja dengan Professor Philead. Mereka pernah mengerjakan beberapa sesi proyek bersama.” “Apa hubungan mereka dengan Mara?” Tanya Angel. “Tom Tom berfirasat, Mara bersangkut paut dengan mereka, terutama jika umur legal Mara ditarik kebelakang sampai tanggal kelahirannya.” “Oh iya, itu, aku ingat dia pernah cerita kalau dia ditemukan dalam keranjang bayi di depan gerbang panti asuhan. Aku masih sulit memercayainya.” “Keranjang bayi?” Mindy tersenyum sinis. “Itu hanya versi yang mereka ceritakan pada Mara. Nama Mara juga bukan nama inisiasi yang mereka berikan, tapi Mariam. Menurutmu, masuk akal panti asuhan bernama 'Dharma Nirmala' memberi nama anak asuhnya dengan nama 'Mara'?” Jari-jari Angel terketuk dengan irama acak, dahi mengkerut. “Mariam? Jadi kenapa dia dinamakan Mara?” Jari telunjuk Mindy menunjuk pada sebilah pipa elastis di sisi meja Angel. “Hisap pipa itu dulu. Kuberitahu alasannya nanti.” Angel melambaikan pelan telapak tangan sambil menggelengkan kepala. “Maaf, aku tidak bisa merokok, kondisi paru-paruku.” “Lakukan, aku jamin kamu ga akan mati atau...,“ Mindy mengangkat seperangkat DiV dari tas, memasangnya di kedua sisi pelipis, ”Sesi pertemuan selesai sampai di sini.” “O.K., O.K.!” Angel menarik sebilah pipa dari slot-nya. Berkali-kali dia mendekatkan ujung pipa ke mulut, namun belum menyiapkan mental sepenuhnya untuk menghisap material asing dari lubang pipa. “Rileks.” Saran Mindy. Angel melakukan beberapa seri respirasi dengan tempo panjang untuk menenangkan diri. Mindy hanya menggeleng-gelengkan kepala. Sensasi aliran udara panas membuat efek iritasi pada dinding tenggorokan Angel, secara tidak sadar otot tenggorokan berkontraksi, menutup lubang pernafasan. Refleks, Angel terbatuk-batuk, berusaha mengeluarkan aliran udara dipenuhi material asing dari rongga mulut. “Lakukan lagi, lebih rileks, anggap ini salam pertemuan kita.” Mindy tertawa pelan, namun ekspresi sinis dari tarikan garis bibir membuatnya terkesan seperti Margaret Thatcher saat dia mengeksekusi perintah pada kapal selam nuklir untuk menenggelamkan kapal tempur lawan. Angel mengulangi proses, berusaha untuk menanamkan perintah mental untuk menerima material asing. Kali ini dia berhasil, namun kantung mata mengeluarkan tetesan air sebagai konsekuensi. “Good job, girl. Welcome to my life.” Mindy melepas DiV lalu meletakkannya di meja. “Apa tadi barusan? Rasanya panas, perih, konsumen menghabiskan uang untuk benda ini?” “Mariyuana.” Mata Angel terbelalak saat Mindy mengatakannya dengan bisikan. “How the f-?” Angel hampir mengumpat saking kagetnya. Sepengetahuannya kafe ini hanya 'terang-terangan' menjual artificial incense dalam berbagai aroma; apa ganja juga termasuk dalam menu? “Jangan lupa, ini di Madura, Las Vegas-nya Indonesia. Selamat datang.” Mindy bertepuk tangan pelan berkali-kali, berkesan untuk merayakan sesuatu. “Ok, lanjut. Sampai mana tadi?” Angel membanting bilah pipa hisap masuk ke slot. “Nama Mara, kenapa mereka memberinya nama itu?” “Tanyakan hal itu ke Professor Philead atau Doktor Burness, mereka lebih tahu detilnya. Kami hanya tahu nama Mara diberikan karena alasan tertentu, mungkin alasan psikologis.” “Lalu di mana Mara sekarang? Kalian sudah dapat jejaknya?” “Catatan jejak terakhir Mara di la Grande Fleur. Setelah itu dia menghilang.” Mindy menjentikkan jari. “Poof, hilang begitu saja.” Jantung Angel sempat terhenti ketika Mindy mengatakan lokasi terakhir di mana mereka telah kehilangan jejak Mara. “Tom Tom lagi putar otak sekarang, mungkin dia butuh satu minggu lebih sebelum jejak Mara bisa dilacak lagi.” Mindy mengigit ujung kuku jari yang dilapisi kuteks transparan, sekedar memberi kesan menggilap. Pandangannya berfokus di kuku jari sambil berbicara, mengacuhkan lawan bicara. “Satu minggu? Kalian yakin Mara masih dapat dilacak selama jangka waktu itu?” “Semakin subyek merasa hidupnya terancam, semakin banyak jejak yang ditinggalkan.” Kata Mindy dengan nada datar. Dia masih memandangi kuku-kukunya, menggoresnya dengan sebilah manicure stick. Angel merasa tidak nyaman dengan perilaku dingin Mindy, berdarah dingin, mungkin label yang lebih tepat. Konsumen harusnya diperlakukan dengan hangat oleh penyedia jasa, tapi karena sifat penyedia jasa yang memang ilegal dan seluk beluk protokol yang membuat organisasi mereka nyaris tanpa pesaing berarti, perilaku Mindy bisa dimengerti. Seorang waiter mendekati meja, mengenakan seragam atasan putih dengan apron hitam, ikon Night Pot terilustrasikan pada apron tersebut. Dia mendorong kereta dengan seperangkat coffe pot yang terbuat dari kaca dan sepasang cangkir kecil. Si Waiter menuangkan cairan kopi berwarna hitam pekat ke dalam sepasang cangkir kecil yang telah tertata di depan setiap sisi meja, aroma kopi menusuk hidung. Dia mendorong kereta ke meja lain setelah selesai menuangkan kopi. Jari telunjuk Mindy melingkar di pegangan cangkir, jari tengah menahan posisi cangkir. Isi cangkir cukup kecil untuk dihabiskan dalam dua sesapan. Dia mendorong jari tengah yang menahan cangkir ke arah Angel. Angel menggelengkan kepala. “Maaf, aku tidak suka espresso.” Mindy sekali lagi mendorong cangkir dengan jari tengah di udara, tarikan garis bibir, dan pandangan tajam matanya mengisyaratkan sebuah pesan; ikuti, jangan buat masalah. Angel mengikuti sugesti Mindy. Dia mengangkat cangkir kecil dan mengesapnya dengan cepat. “Katamu tadi kamu punya masalah dengan paru-parumu?” Mindy tersenyum. “Semoga jantungmu tidak seburuk paru-parumu.” Dahi Angel mengkerut. “Pacarmu dulu pernah masuk panti rehab gara-gara masalah serupa, kan?” Kata Mindy. Kedua mata Angel yang awalnya sudah sipit semakin menyipit, gigi geraham bergesekan saat Mindy mengatakan 'panti rehab', memori yang berusaha dia sisihkan. “Oh? Terus?” Telapak tangan kanan Mindy terentang di udara, menghentikan dialog. Perangkat cyber diving glass kembali tersemat di pelipisnya. Dia menegakkan badan dari kursi. “Pertemuan kita selesai sampai di sini. Kalau kamu mau update berikutnya, berikan data Professor Philead sesuai permintaan Tom Tom.” “Tapi-” Rambut-rambut hewan artifisial dari kerah jaket beludru melambai lembut di udara. Mindy pergi meninggalkan meja begitu saja. Sekeping koin tertinggal di sisi meja. Angel mengorek koin tersebut, memasukkannya ke folder kertas beserta lembar-lembar foto. Tidak tahu harus berbuat apalagi, dia berdiri dari kursi. Berjalan meninggalkan meja. Selangkah atau dua langkah sebelum berhenti mendadak. Angel berhenti melangkah setelah merasakan jantungnya berdegup lebih kencang. Orientasi ruangan tiba-tiba menjadi kacau, dimensi panjang dan lebar bertambah di luar nalar, persepsi terhadap kedalaman gagal memberikan petunjuk ke mana dia harus melangkah tanpa harus terjatuh. Suara-suara pelan yang tadinya sama sekali tidak masuk perhatian; dentingan sendok, gesekan garpu, percakapan orang lain, mulai menimpali indera satu-persatu. Diam. Ambil nafas pelan-pelan. Cari pijakan. Ini pasti gara-gara sundal sinting itu. Pikir Angel. Arah pandangan tertuju pada barisan wastafel. Distorsi sensasi efek mariyuana yang diperkuat dengan kafein membuat koordinasi motorik umum seperti berjalan, terasa seperti berlatih akrobat. Terombang-ambing dalam situasi asing, dia membiarkan waktu berlalu begitu saja dengan berat badan bertumpu pada pergelangan tangan yang berpijak pada pegangan wastafel. Rentangan cermin memenuhi pandangannya. Jari-jarinya menyentuh kening, alis, kelopak mata, lalu berhenti di sekitar daerah kantung mata. Berkas-berkas kulit di kantung mata tampak lebih gelap karena kekurangan oksigen dalam aliran darah di bawah kulit. Dua-tiga hari terakhir, jadwal tidurnya menjadi kacau, entah karena gangguan tidur atau kecemasan pasca trauma. “Mungkin aku butuh refreshing.” Bisik Angel pada dirinya sendiri, menghela nafas. Nada dering terdengar dari smartphone di dalam tas. Angel menekan tombol digital di panel layar untuk mengangkat saluran.
“You passed fifteen minutes mark. How much longer should i wait?” Tanya Leah melalui saluran telepon.
“I'm done here. Please walk me somewhere. I need some re-re-..., re-orientation.” Kata Angel dengan aksen lokal yang cukup kental. Ketrampilan bahasa Inggris lisan Angel tidak selancar Leah.
“You gonna miss da whole fun though.” Leah melepaskan tangan Angel, berjalan menuju dance floor.
Layar smartphone berkali-kali berkedip saat Angel menekan tombol-tombol digital. Entah apa yang dicarinya, namun kegiatan browsing tidak akan kunjung selesai dalam waktu singkat. Sepotong kalimat dalam instant message berisi intruksi untuk menoleh ke arah pintu masuk. Pengirim; serial nomor asing. Tiga individu menerobos pintu masuk. Seorang wanita berseragam semi-formal berjalan tergesa-gesa dengan dua orang pria kaukasian yang mengenakan seperangkat cyber diving glass dan bersetelan jas hitam, mengikutinya di belakang wanita tersebut. Mereka menaiki tangga, menuju lantai atas. Beberapa ruangan tertutup VVIP di lantai atas diperuntukkan untuk pertemuan khusus. Angel mengikuti gerakan mereka sampai dia tidak menyadari seorang pria asing dengan perawakan tinggi kurus dan berambut afro-keriting mendekatinya. Pria itu duduk persis disamping Angel, dia memesan segelas cocktail kepada bartender. “Juliet Miriam Philead. Hmm, baru kali ini dia menginjakkan kaki di Indonesia.” Pria tersebut mengatakan dua patah kalimat tanpa menoleh ke arah lawan bicara. Angel segera menoleh ke sumber suara setelah nama 'Juliet Miriam Philead' terucap. “Hmm, maaf, siapa kamu?” Tanya Angel. “Koin.” Jawab Pria tersebut tanpa menjelaskan pengantar terlebih dahulu. Koin? Kenapa dia minta koin? Oh..., koin yang itu. Angel menunjukkan koin dari Tom Tom. Pria tersebut mengambil koin dari jemari Angel lalu melakukan hal serupa dengan rekan Tom Tom sebelumnya. “Namaku Joy-B.” Lengannya masih tersilang di atas serving desk, tampaknya dia tidak dalam mood untuk melakukan hand-shake. “Joy-Bee, lebah?” Setelan jumpsuit nilon dengan kombinasi warna kuning dan hijau yang dikenakan Joy-B membuat Angel sempat berkesimpulan bahwa pria itu memiliki masalah dengan orientasi seksualnya. Itulah kenapa dia mengira 'B' singkatan dari Bee. Joy-B menggeleng-gelengkan kepala. “No, no. B itu singkatan dari Boy. Joy Boy.” Demi menghindari komplikasi masalah, Angel mengangguk dengan tatapan netral. “Kebetulan aku di sini, dan kebetulan juga Miss Philead-” Seorang perempuan tiba-tiba datang dari samping Joy-B, menepuk pundaknya. Joy-B tampak terkejut ketika menyadari perempuan tersebut adalah Leah. Leah menudingkan jari telunjuk ke arah Angel dan Joy-B secara bergantian. “Kalian berdua udah saling kenal?” Angel menggelengkan kepala. “Nope, aku baru aja kenal dia. Dia temanmu?” “Fuck!” Joy-B mengumpat. “Leah...,” Angel menatap wajah Leah. “Siapa dia?” Leah membisikkan sepotong kalimat dengan jarak intim dari telinga Angel. Kedua mata Angel terbelalak, menampakkan keterkejutan setelah mengetahui ringkasan masa lalu Leah dengan Joy-B. “Aku mending cabut aja. Ini..., ini di luar standar operasi.” Kata Joy-B. “Not so fast, Doni, not so fast.” Leah menekan pundak Doni, nama asli Joy-B, supaya dia tetap tertahan dalam posisi duduk. “No, no, no.” Joy-B menggeser lengan Leah dari pundaknya. Leah meremas pantat Joy-B. Satu gerakan tersebut cukup efektif untuk membuat Joy-B tak berkutik. “Good boy!” Gerakan tubuh Joy-B menampakkan ekspresi tertekan; kedua bibir terlipat ke dalam mulut, dahi mengerut dan gerakan punggung bergoyang ke depan-ke belakang dengan irama acak. “Aku bisa jamin Leah tidak akan mengganggumu kalau kamu mau membagi informasi lebih.” Kata Angel. “Fuck. Shit. Tom Tom ga bilang apa-apa soal dia!” “Oh, jadi kamu sekarang punya hobby selingan, toh?” Cibir Leah. “Ok, Joy-B, Doni, atau siapapun namamu. Anggap aja kita masih dalam situasi bisnis. Dari sekilas info tadi...,” Angel berusaha menyimpulkan sugesti potongan-potongan info sebelumnya. “Jadi Miss Philead datang ke Indonesia karena sebuah tujuan?” “Kurang lebih seperti itu. Dia biasanya hanya bertugas di departemen R&D Alter.” Joy-B mengetuk-ngetukkan jari telunjuk di meja saji. Dia hanya menatap sisi meja Angel, berusaha keras untuk menghindari tatapan mata Leah. “Satu unit private airliner dari San Jose mendarat di bandara Juanda beberapa jam lalu. Sangat mencolok, mudah dikenali.” “Menurutmu untuk apa dia datang ke Indonesia?” “Aku belum tahu detilnya, kemungkinan besar panggilan dinas dari la Grande Fleur.” Angel memicingkan mata, menyilangkan kedua lengan di di depan dada sambil mengunci pandangan dengan Joy-B. “Kamu kenal Mara?” “Iya, iyalah, dari Tom Tom. Aku juga tahu dia menghilang dari la Grande Fleur.” Segelas Cocktail dengan cairan berkonsistensi multi-lapis; lapisan paling atas berwarna coklat kekuningan, lapisan tengah berwarna oranye, dan lapisan paling bawah tidak berwarna, tersajikan di hadapan Joy-B. Si Bartender tampak berusaha menyembunyikan senyuman mencibir dari tarikan bibirnya. “Ada tambahan info penting lain, cukup penting atau cukup sensitif yang harusnya aku perlu catat?” Tanya Angel. Joy-B berdeham. Mengangkat punggung telapak tangan kanan menghadap Angel, menghentikan dialog. Seorang pria dengan setelah jas hitam berjalan di tengah hallway lantai dua, mendekati pagar railing yang melingkari batas luar balkoni. Pandangannya yang telah terbalut oleh interface BrAV menyisir individu-individu di lantai bawah, telapak tangan kanan bergerak dari satu sisi ke sisi lain berkali-kali mengikuti arah pandangan. “What?” Tanya Leah. “Sssush, ada yang ngawasin...,” Joy-B mendesis, telapak tangan kanan menopang sisi kanan kepala. “Tunggu.” Telapak tangan pria bersetelan jas hitam mengarah ke serving desk, menyisir kedua bartender, lalu bergerak ke arah Joy-B. Telapak tangan berhenti bergerak. Pria tersebut tampak berbicara dengan dirinya sendiri lalu bergerak menjauh dari balkoni menuju tangga ke lantai bawah. Berjalan cepat mendekati Joy-B dengan menyikut kasar kerumunan pengunjung yang menghalangi. Pria bersetelan jas hitam menepuk pundak Joy-B. “I need to talk.” Joy-B membalik badan, kursi hidrolik ikut berputar. “Whassap dude!”
Telapak tangan kiri pria berjas hitam menekan pundak Joy-B. Segenggam hantaman mendarat di abdomen Joy-B hingga dia membungkuk. “State your business here.”
Ekspresi wajah Angel dan Leah segera berubah, menampakkan kekhawatiran. Joy-B tersedak, berkali-kali terbatuk, dia berusaha menghirup udara untuk memulihkan kondisi diafragma yang baru saja terhantam. “Why the fuck you hit me? I ain't done nothing!”
“Spit the facts, our I'll make you spit your teeth.” Ancam si Pria berjas hitam.
“Look, dude, I just wanna get laid with these ladies. So tell me, what's wrong setting the mood on the best night club you can get your ass on?” Kata Joy-B sambil menunjuk ke arah Leah dan Angel.
“You dress in a way i couldn't think these ladies wanna spare you even a glimpse, tranny wannabe. Why should i buy your cheap ass story?” Bantah si Pria berjas hitam.
“So what if i dress like a tranvestite? A gay couldn't get a share of the cake? It's goddamn twenty first century, man!” Joy-B mendengus. “A gay, a Bi, a straight, they all got the same share of basic human needs, and you know what-”
Sepucuk pistol terlihat samar di sisi pinggang pria berjas hitam, jari-jarinya mulai mencari pegangan senjata api tersebut.
Leah mengambil inisiatif demi 'melumerkan' situasi kritikal. Dia merangkul pinggang Angel dengan mesra untuk menarik perhatian si Pria berjas hitam. “Well, he got the point, so, you wanna join us, thight ass?”
“I see...,” Si Pria berjas hitam berdeham. “Anyway, you got five minutes to fuck off from here before I change my mind.”
Joy-B mengangkat kedua telapak tangan di depan wajah. “Alright, dude! Whatever!”
Si Pria berjas hitam berjalan meninggalkan mereka bertiga. Dia berbicara dengan dirinya sendiri. “Situation neutralized. They just indulging themselves in some particular carnal party.”
Setelah pria berjas hitam menghilang dari pandangan, Joy-B menghela nafas panjang. Leah tertawa, sedangkan Angel menggeleng-gelengkan kepala. “You owe me, egghead!” Leah masih tertawa. “Ga ada yang lucu tadi! Kalian tahu, kalian baru saja masuk daftar tag mereka. Sekali lagi kalian terlihat di dekat perimeter mereka...,” Joy-B menggores lehernya dengan jari, “You, Ma'am, are dead.” “Kenapa mereka seagresif itu?” Tanya Angel. “Tanya aja ke orang gila itu. Mungkin jawabannya adalah sebutir peluru bersarang di kepalamu.” “You are not helping here, Doni.” Cibir Leah. “Ini resiko pekerjaan kami. Orang-orang seperti mereka ga akan membiarkan informasi apapun bocor dari sistem dengan cara seperti apapun.” Joy-B memutar kursi hidrolik ke arah serving desk, mengangkat gelas Cocktail lalu menenggaknya. “Sounds pretty boss to me.” Tambah Leah.
“Yeah, boss enough they're quite likely to trade human lives for privacy.”
Sepasang alis mata Angel yang masih dalam kondisi 'tak-pernah-terekspos-alat-cukur' tertarik ke dalam jembatan antara dahi dengan pangkal hidung, menunjukkan keprihatinan. “Apa yang mereka berusaha sembunyikan sampai mereka bertaruh nyawa manusia?” Joy-B mendengus. “Kalo aku sudah tahu, hanya ada dua cabang yang paling mungkin terjadi. Pertama, aku jadi kaya mendadak. Kedua, aku mati mendadak.”
Rambut keriting Joy-B mengembang seperti roti 'menenggelamkan' telapak tangan Leah yang bergerak diatas kulit kepalanya dengan irama acak. “Let me have the privilege to bury your carcass.”
“Ok, kembali ke topik. Apa hubungan Mara dengan kedatangan Miss Philead?” Tanya Angel. Joy-B menenggak sampai hanya tetes terakhir tersisa dalam dasar gelas cocktail lalu melenguh panjang. “I dunno, aku tadi cuma kebetulan ada di sini, terus Tom-Tom suruh aku ngecek apa bener Miss Philead ke sini terus bla, bla, bla..., tiba-tiba aku dihajar sama orang gila itu terus-” Telapak tangan kanan Leah tiba-tiba melayang, mendarat dengan keras di pipi Joy-B, paling tidak mereka berhasil menarik perhatian beberapa mata asing. “What the fuck was that for?” Joy-B memegangi pipinya yang memerah.
“Sober up, half-man, my hand got some itch to experiment on latest trick, you know-”
“O.K., O.K.!” Kedua Tangan Joy-B terangkat ke atas. “Kalian boss-nya, aku nurut, setahuku seharusnya Miss Philead sekarang langsung meluncur ke Bangkalan, ke la Grande Fleur.” “Terus?” Tanya Angel. “Temennya Tom Tom, dia bilang cewek, entah siapa, sekarang ada di lantai atas. Terus..., maaf, selebihnya aku ga bisa beritahu detail lainnya.” Leah menoleh ke arah Angel lalu memutar kepala pelan-pelan dengan tatapan dingin seperti boneka marionet dari neraka ke arah Joy-B. “Terus?” “Shit...,” Umpat Joy-B, “Tuh, cewek, tanpa sepengetahuan mereka, sekarang lagi numpang ruang khusus buat pertemuannya Miss Philead.” “Maksudmu, mata-mata, gitu?” Angel menyipitkan mata hingga hanya tampak seperti sebaris garis. Joy-b menganggukkan kepala pelan Bab sebelumnya | Bab berikutnya Catatan kaki: text-text dialog dalam Bahasa Inggris diterjemahkan secara interaktif di www.kludia.com (sumber originalnya). Di sini fitur tersebut tidak dapat diaplikasikan, mohon maaf atas ketidaknyamanannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H