Selama dua hari paska dijualnya bb untuk membeli bb, saya tidak pegang hp. Kartu gsm-ku dibiarkan tergeletak tanpa sarang di laci meja kerjaku. Semua uang hasil penjualan bb diperuntukan membangun dapur sederhana yang belum usai. Di rumah hanya ada satu hp samsung milik istriku, dan bukan dual sim.
Saya menyadari selama tiga hari itu, ada banyak kawan kantor, relasi, family yang kecewa denganku, gara-gara ketiadaan ponsel tersebut.
Untuk menekan kekecewaan mereka, sebenarnya, saya sudah bikin pemberitahuan di wall facebook. Saya tak mau jujur, kalau bb saya dijual, namun saya tulis, bahwa hp saya mengalami kerusakan dan sedang diservis, jadi selama beberapa hari bakal sulit menghubungi saya".
Seperti dugaan saya, ketiadaan bb dan terputusnya hubungan bakal menimbulkan sedikit masalah, buktinya, saat saya masuk kantor pada senin pagi, langsung disuruh menghadap pimpinan, yang bernama Pak Sunarya. Dengan nada kesal pimpinan minta penjelasan, kenapa saya tidak mengaktifkan telepon, padahal "haram" hukumnya semua karyawan di tempat saya bekerja mematikan telepon, meskipun dihari libur kerja. Pimpinan melunak, ketika saya jelaskan masalah yang sebenarnya, yakni bb dijual untuk membangun dapur sederhana. Bukan saja melunak, ia juga merasa iba dan akhirnya turut menyumbang pembangunan dapur sederhana itu. "Gimana kalau saya bantu untuk membayar tenaga tukangnya?" Tanya pimpinan padaku. "Terima kasih bantuannya Pak, semoga Allah membalas kebaikan bapak," jawab saya dengan nada rendah.
Tak sampai satu menit, sebuah amplop berkop lembaga tempat saya menggantungkan hidup, mengasah kreatifitas diserahkan padaku dari pimpinan. Sembari mulut berkomat kamit mengucap kalimat hamdallah, saya keluar ruang pimpinan dengan sumringah.
Sontak rekan-rekan satu ruangan mengaku aneh dengan tingkahku. "Kenapa senyum-seyum begitu, pasti dah dapat bonus ya?" Tanya Ingar, yang meja kerjanya berdampingan mejaku. "Ah mau tau aja!" Jawabku singkat, sambil jalan menuju wc, hendak menyobek amplop, ingin mengetahui berapa jumlah dana di dalamnya.
Alhamdulillah, ada lima lembar uang warna merah bergambar sokerno hatta.
Sebagai bentuk syukur mendapat dana dari pak Tobaroni, saya langsung mengisi pulsa untuk ponsel umi, istri, adik-adik. Habislah 75 ribu untuk isi pulsa mereka.
Dari uang sisa itu, saya harus membeli hp, dan membayar tukang bangunan.
Jam menujukkan pukul 14.00, saya berkemas untuk pulang, tak lupa mengabsen dulu. Agar lebih rileks, saya mengganti sepatu dengan sandal jepit, mengganti kemeja dengan kaos oblong. Dengan menggendong ransel kumal kesayangan, saya melangkah meninggalkan kantor, menuju angkot ke stasiun kereta api. Selama diangkot, saya berfikir, apa sore ini langsung membeli hp murah, atau pulang dulu berdiskusi dengan istri. Keputusannya, saya lebih baik pulang dulu, dan bicara pada istri, gimana baiknya, toh di dekat komplek pun banyak toko hp.
Sengaja sejak pagi saya belum mengabari istri, bahwa telah mendapatkan bantuan dari Pak Tabroni, pimpinanku itu. Ya, itung-itung memberikan kejutan saja, mending nanti pas tiba di rumah menceritakannya. Bagi kami uang pemberian, tentu kejutan, meskipun jumlahnya tak seberapa bagi kebanyakan orang yang mampu.