Namaku Ilham. Saat ini sedang kerja keras, bahkan sangat keras, meraih gelar sarjana di sebuah Universitas Negeri di Jakarta. Dari 35 mahasiswa seangkatanku, hanya aku dan satu temanku yang belum lulus. Temanku itu bernama Cici. Sedari awal kami masuk kuliah dan bertemu. Aku merasa tidak ada yang spesial dengan Cici. Dia gadis yang supel, mudah bergaul dan agak sedikit cerewet. Tapi yang pasti dia orangnya asik dengan siapapun. Yang membuat aku heran, kenapa dia belum lulus sampai sekarang. Apakah dia mengidap penyakit yang sama denganku? MALAS. “Tidak mungkin” batinku.
Cici orangnya imut, matanya sipit khas keturunan Tionghoa, kulitnya putih, rambutnya lurus terurai sampai kepunggung, sesekali terikat, beberapa helai di antaranya nakal melepaskan diri dari ikatan. Secara tidak sadar aku sering memperhatikan Cici. Akhir-akhir ini kami sering berbarengan menunggu dosen pembimbing di lorong menuju ruangan Jurusan.
“Pak Toni sudah datang Ci?” tanyaku sambil menghampiri Cici. Toni adalah dosen pembimbingku. Orang yang membingungkan, sama seperti dosen pembimbing skripsi yang lain. Kadang baik, penuh nasehat, membimbing, bahkan tidak jarang ngopi bareng di kantin kampus. Kadang jengkelin, susah dicari, suka pergi keluar kota mendadak, bahkan lupa sama mahasiswa bimbingannya.
“Belum kayaknya, dari tadi aku belum lihat” jelas Cici sambil melihat corat-coretan dilembar skripsinya. Dari corat-coretan itu aku menduga Cici barusan ketemu Dedi, dosen pembimbingnya. Biasanya koreksian dosen pembimbing memang dicorat-coret seperti itu. Punya Cici belum seberapa. Skripsiku suatu saat pernah dicorat-coret sampai penuh mulai dari cover sampai lampiran terakhir. “Ya udah kerjain bapak sendiri aja skripsinya pak” cetusku membatin.
Keringat Cici bersilauan dimukanya, persis seperti butiran mutiara kecil yang hendak keluar dari raut muka yang serius. Namun tetap indah dipandang.
“Sudah bab berapa Ham” tanya Cici
“Bab III menuju bab IV” sahutku, sambil kucuba mendekatkan letak dudukku ke Cici. Aku harap percakapan ini bisa lebih.
“Kendala kamu di apa Ham?” tanya Cici mendahului. Padahal aku sebenarnya juga ingin menanyakan itu kepada cewek yang selalu sibuk. Meskipun sedang mengobrol denganku, tangannya selalu sibuk membuka lembara-lembaran skripsinya. Sesekali menyela rambutnya yang terurai. Nampaknya tak sempat ku bertatapan mata dengannya. Kondisi ini semakin membuatku penasaran.
“Masih banyak Ci, beberapa nilaiku juga masih banyak yang belum kelar” jelasku sambil ku sandarkan punggungku ke dinding jurusan. Mengingat ini terasa kepalaku terisi dengan beban yang sangat berat, batu-batu besar menghujani kepalaku, palu-palu besar memukul tengkukku, persis seperti iklan sakit kepala di tivi. Tak kuat ku menopang tubuhku.
“Kenapa bisa gitu ham?” Cici penasaran melihat ku terkulai lemas.
“Aku nyesel Ci, dulu aku ga serius kuliah, banyakin main-main” waktu masih semester 1 sampai semester 4 aku memang sering menghabiskan waktu kuliah untuk main-main. Menghabiskan waktu untuk nongkrong di warung kopi, gonta-ganti pacar hanya untuk bersenang-senang, traveling, dll. Tanpa aku sadari aku sudah menghilangkan waktu yang sangat berharga, sering bolos kuliah. Tidak hanya itu, karena alasan popularitas, aku menerjunkan diri kedunia politik kampus. Aku ikut organisasi kampus yang paling populer. Ambisiku adalah popularitas, tidak lebih. Jika semakin terkenal, maka akan semakin mudah untuk mendapatkan segalanya. Mulai dari perhatian dosen, banyak di gandrungi cewek-cewek, dan banyak lah. Namun saat ini aku menyesal, semua telah berlalu begitu saja. Bahkan hampir saja diriku terjerat dalam kasus hukum karena ditipu oleh teman organisasiku. Saatku menjabat sebagai ketua organisasi, bendaharaku membawa kabur duit organisasi dan dia menghilang entah kemana. Untuk mengganti duit itu, aku harus meminjam duit saudaraku. Dan aku harus cuti kuliah selama 5 semester untuk bekerja supaya bisa mengembalikan semua hutang itu. Duh, berat sekali bebanku ini, kemana lagi aku harus mengadu. Paling tidak untuk sekedar berbagi cerita. Mungkin bisa sedikit meringankan bebanku.
“Seharusnya kamu jangan menyia-nyiakan waktu kamu ham” suara Cici menyadarkanku.
Ku hirup nafas dalam-dalam lalu ku hembuskan untuk menghilangkan rasa sesak di dadaku yang menggumpal. Meskipun aku tidak sakit sesak nafas, tapi jika aku mengingat masa laluku, serasa penuh paru-paruku dengan udara penyesalan.
“Waktu itu tidak seperti kaset, yang bisa kita nikmati kapan aja. Waktu itu indah bagi yang bisa mengendalikan. Tapi kita akan tersiksa jika kita hanyut dalam gelombang waktu” ucap perempuan manis lembut. Entah kenapa aku menemukan kedamaian dalam lembutnya suara itu. Tapi rasa penasarnku belum terjawabkan. Gerangan apa yang menyebabkan Cici belum lullus hingga sekarang. Setahuku dia sosok yang rajin, pintar, jauh lebih pintar dariku, sesekali memang aktif di acara-acara organisasi mahasiswa. Kenapa?
Terakhir aku ketemu dengan Cici adalah saat perkuliahan Metodologi Penelitian, tepat seminggu sebelum kita menyerahkan proposal skripsi. Setelah itu aku memutuskan untuk cuti kuliah dan bekerja di sebuah pabrik. Tidak besar gaji dipabrik itu, namun cukup untuk membayar hutang yang disebabkan oleh penghianat. Kembali ku terpaku.
“Sudahlah Ham, penyesalan memang datang di Akhir. Aku juga dulu tidak membayangkan hidupku akan seperti ini” ucap Cici sambil menyenderkan punggungnya ke dinding. Orang banyak yang berlalu-lalang, tapi tidak ada yang menghiraukan. “Dulu semua berjalan dengan lancar Ham, hingga suatu tragedi terjadi”
Aku semakin penasaran
“Waktu itu kami sekeluarga merayakan Imlek dirumah, sekeluarga berkumpul seperti biasa”
Cici keturunan Tionghoa yang taat sama ajaran-ajaran Buddha. Dulu memang orang Tionghoa banyak yang bergabung dengan Buddha. Ketika baru semester awal, aku sempat kikuk. Maklum aku dibesarkan dilingkungan Islami, mulai dari buyut, kakek, dan ayahku semua menjadi tokoh agama, bisa dibilang begitu. “Sudah maghrib, buruan pake sarung, jangan kayak orang cina” begitu kata nenekku kalau marah. Orang Cina atau Tionghoa bagi nenekku adalah orang kafir, makan babi, minum arak (minuman keras), melihara anjing, dan selalu pake calana pendek.
Kondisi itu membuatku ketakukan untuk bergaul dengan orang non-muslim. Bahkan ketika aku sudah kuliah di Jakarta. Namun semua citra negatif itu hilang ketika aku bertemu Cici. Orang Cina tidak seperti yang dijelaskan nenekku. Ternyata orang Cina sama seperti orang muslim, baik, ramah, santun, dan cantik.
Cici aku tidak sabar mendengar ceritamu, batinku.
“Dalam tradisi Imlek, biasanya kami mendapatkan Angpao. Malam itu pun kami mendapat Angpao dari keluarga-keluarga kami. Setelah itu, kami pergi ke Vihara untuk beribadah bersama” lanjut Cici “persis setelah kami menyalakan Hio (dupa), suara ledakan sangat keras terjadi. Aku tidak tahu persis dimana ledakan itu, yang pasti keras sekali, dekat sekali” desah Cici sambil berkaca-kaca matanya kulihat.
“Suara ledakan itu memekakkan teligaku, setelah itu yang aku rasakan hanya gelap dan rasa sakit yang luar biasa di dada, di punggung, kaki, dan sekujur tubuhku terasa sakit yang luar biasa” tatapan mata Cici terlihat sayup-sayup dan berkaca-kaca. “Ayahku meninggal dalam tragedi itu, sementara ibuku mengalami trauma luar biasa. Ibuku nyaris seperti orang lumpuh. Tiap hari menangis dan meratapi keluarga kami. Sementara aku adalah orang yang paling beruntung dalam tragedi itu. Hanya sedikit luka lecet di pelipis kiri”
“Siapa pelakunya ci?” tanyaku penasaran. Sungguh biadab orang itu. Bukankah semua manusia diciptakan untuk saling mengenal dan berkasih sayang, batinku. Bahkan Nabi Muhammad pun pernah mempersilakan kaum nasrani untuk melaksanakan ibadah di masjid di Madinah.
“Polisi mengatakan pelakunya adalah teroris, mereka tidak senang keberadaan tempat ibadah kami” tegas Cici. “Aku sendiri trauma. Bukan karena tragedi pengeboman mencekam itu, tapi kehilangan orang yang aku sayangi, papaku. Papa adalah orang yang aku kagumi, orang yang selalu mengajari kami bagaimana hidup berdampingan dengan masyarakat, bagaimana menghadapi hidup, dan mengajari semua hal”
“Sepertinya sia-sia semua gelar yang aku dapat jika papa sudah tiada” kali ini Cici benar-benar menetaskan air mata.
Aku serba salah. Melihat Cici menangis. Beruntung dia bawa tisu sendiri dan dengan segera menghapus air mata bening yang keluar dari kelopak indah itu.
Cici memang cewek yang tegar. Lagi-lagi dadaku berdesir. Namun bukan sesak penyesalanku. Tapi lain. Entahlah.
“Tapi Ham, semua yang terjadi itu adalah kenangan. Kenangan itu seperti rokok. Dihisap, masuk mulut, dihembuskan, dan kepulan asapnya akan hilang diterpa tiupan angin. Namun Nikotinnya akan tetap membekas di paru-paru”
Aku hanya mengangguk, mengiyakan perkataan Cici.
“Kita boleh ingat masa lalu, tapi penting untuk menatap masa depan”
“Setuju”
“Gelar sarjanaku untuk papa di Surga” Cici tersenyum.
Aku pun tersenyum...
Senyum itu lama sekali..
[Bersambung]
Sumber gambar: http://mc-adhiguna.blogspot.com/
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H