Pada momen Hari Anak Nasional 2022, angka perundungan, kekerasan dan intoleransi terhadap anak menjadi tantangan yang semakin nyata. Yayasan Cahaya Guru (YCG) menilai kondisi ini adalah puncak gunung es yang disebabkan oleh hilangnya empati dan toleransi terhadap perbedaan. Sekolah harus menerapkan prinsip penyelenggaraan pendidikan yang demokratis, berkeadilan, dan tidak diskriminatif, menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia dan keragaman.Ketua YCG, Henny Supolo Sitepu menyatakan sekolah negeri mestinya berfungsi  sebagai penyemai keragaman bangsa yang utama. Berlainan dengan sekolah swasta yang memiliki target murid tertentu, sekolah negeri terbuka untuk semua anak bangsa.  Artinya, peluang untuk belajar dari keragaman selayaknya mudah ditemukan. Namun kenyataan di lapangan berbeda.
"Laporan Human Rights Watch yang secara konsisten mengangkat isu tekanan untuk mengenakan jilbab, sekali lagi memperlihatkan bahwa tekanan tersebut  sudah sedemikian besar dan luasnya. Pertanyaannya adalah seberapa jauh insan pendidikan menyadari tekanan tersebut?" tegas Henny Supolo.
Dibatalkannya SKB 3 Menteri soal seragam atau atribut sekolah Maret 2021 lalu, mestinya tidak membuat niat Kemdikbud Ristek surut, namun lebih tegas bersikap untuk keragaman bangsa Indonesia. Bisa dimulai dari menyisir ulang seberapa jauh sikap itu tercermin dari berbagai dokumen yang mengikat guru.
Padahal, menurut Henny, kebijakan mengenai seragam yang condong pada agama tertentu, tidak sejalan dengan prinsip penyelenggaraan pendidikan yang  tertera pada UU Sisdiknas No. 20/2003 yang seharusnya tidak diskriminatif,  menjunjung HAM dan kemajemukan bangsa.
Selain itu, menurut Henny Supolo, kurikulum atau dokumen-dokumen yang menyempitkan keragaman juga perlu dilihat kembali. Misalnya Kompetensi Dasar (KD) Pendidikan Agama Islam (PAI)  di SMA/SMK. Pada kompetensi sikap spiritual tertulis: "Terbiasa berpakaian sesuai dengan syariat Islam", pada kompetensi  dasar sosial tertulis: "Menunjukkan perilaku berpakaian sesuai dengan syariat Islam", sedangkan pada  keterampilan: "Menyajikan keutamaan tata cara berpakaian sesuai syariat Islam"
Manajer advokasi YCG, Muhammad Mukhlisin, menyatakan YCG bersama dengan 23 NGO koalisi masyarakat sipil dan Human Right Working Group (HRWG) Indonesia menyusun laporan ke PBB untuk Universal Periodic Review (UPR) siklus ke 4 pada 31 Maret 2022 lalu. Dokumen tersebut merekomendasikan untuk pemenuhan hak anak, menghilangkan diskriminasi, menyemai keragaman dalam dunia pendidikan, serta menjamin hak anak kelompok rentan.
Universal Periodic Review (UPR) adalah mekanisme periodik silang review berbagai negara di dunia atas kondisi HAM sebuah negara secara bergantian setiap 5 tahun sekali. Laporan ini telah dikonsultasikan kepada masyarakat sipil melalui Konsultasi Nasional dan Workshop pada 7-8 Februari 2022 yang dihadiri oleh perwakilan LSM berbagai area dan advokasi di seluruh Indonesia. Laporan ini juga telah direview oleh peneliti yang tergabung dalam HRWG (Human Rights Working Group) pada 7-14 Maret 2022.
"Hari anak, harus menjadi momentum pemerintah untuk menyemai keragaman di sekolah, memenuhi hak-hak anak, terutama dari kelompok rentan. Seperti anak-anak dari kelompok minoritas dan menghilangkan diskriminasi suku, agama, ras, gender, dll." tegas Mukhlisin.
"Survey International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) bekerjasama dengan Lembaga Demografi FEB UI yang diluncurkan pada Kamis (14/7/2022) menunjukan bahwa potensi eksklusifitas masih ada. Meskipun mayoritas generasi muda Indonesia memiliki sikap positif yang kuat terhadap toleransi, nasionalisme, dan keberagaman, bahkan tentang kepemimpinan perempuan. Namun mereka juga masih mendukung peraturan berpakaian di sekolah yang sejalan dengan agama mayoritas di daerah itu, juga pembangunan rumah ibadah kelompok minoritas dilakukan dengan persetujuan kelompok mayoritas." ungkap Mukhlisin
Menurut Mukhlisin, hal ini menunjukkan bahwa sikap toleransi generasi muda masih sebatas toleransi negatif, belum pada tingkat toleransi yang aktif. Oleh sebab itu, dia meminta Kemendikbud Ristekdikti untuk memberikan layanan pendidikan agama yang adil. Sekolah negeri harus menyediakan guru agama, dan fasilitas tempat ibadah sesuai dengan kepercayaan murid. Kegiatan-kegiatan ruang perjumpaan dan kolaborasi lintas agama atau kepercayaan juga harus ditekankan