26 September lalu, Maluku diguncang gempa 6.8 SR dan disusul dengan gempa-gempa yang lebih kecil. Kebetulan saya sedang bertugas di Ambon dan merasakan bagaimana gempa mengguncang gedung hotel yang saya tempati untuk pelatihan.Â
Dalam artikel di Kompasiana, saya sudah menulis bagaimana detik-detik gempa di Ambon terjadi. Anda bisa lihat di tautan berikut: (LINK).
Acara pelatihan untuk guru yang seharusnya berjalan sampai sepekan, harus terpaksa kami batalkan di tengah jalan. Saya dan tim fasilitator segera mencari tiket kembali ke Jakarta. Saya yang belum pernah diguncang gempa sebesar itu, tentu sangat panik dan trauma.Â
Hingga saya kembali ke Jakarta, saya masih dibayang-bayangi gempa. Beberapa kali, saya merasa tanah masih goyang. Bahkan dua hari lalu (Sabtu, 5 Oktober 2019), saat saya mau masuk gedung perpustakaan kemendikbud di lantai 2, saat naik tangga saya merasa ada gempa.
Teman saya, Rizal, meyakinkan "aman kok" dia menguatkan saya, karena teman saya ini tahu betul bahwa saya sedang trauma. Dia juga ikut perjalanan ke Ambon.Â
Dia juga bilang selama di Ambon, muka saya pucat dan tegang. Saya juga berencana untuk pergi ke psikolog untuk konsultasi. Tapi, rencana itu saya urungkan. Saya lebih memilih untuk self trauma therapy.
1. Menulis dan berbagi
Tulisan saya soal kejadian gempa yang saya terbitkan di kompasiana pekan lalu itu  adalah salah satu cara untuk terapi. Ketika saya menulis ingatan soal kejadian gempa itu masih sangat melekat.Â
Tapi dengan menulis ada perasaan lega. Kurang dari sepekan, tulisan itu dibaca hampir 4000 kali oleh pembaca kompasiana.
Dari ribuan pembaca itu, 12 orang memberikan tanggapan inspiratif, bermanfaat, aktual, unik, dan menarik. Serta 6 komentar dari pembaca yang membuat saya semakin kuat dan semakin bersyukur. Terus terang, feed back dari pembaca juga sangat membantu saya untuk bangkit.
Selain menulis, ngobrol dan berbagi cerita bersama teman juga membuat saya semakin rileks. Saya menceritakan bagaimana saya lari dan gedung lantai dua hotel yang retak kepada teman yang benar-benar mau mendengarkan.Â