Konferensi Pers di Komas Perempuan. Sumber: Dok. ICRP Aksi warga Bima Nusa Tenggara Barat 24 Desember 2011 di pelabuhan Sape berujung pada bentrok dan penembakan aparat. Sedikitnya 2 orang meninggal di lokasi, 1 meninggal dirumah serta 47 orang terkena luka tembak 29 diantaranya adalah perempuan. Tetapi, sangat disayangkan kasus pelanggaran HAM ini tidak ditanggapi serius oleh pihak terkait. Demikian konklusi konferensi pers yang dilaksanakan Komnas Perempuan, Kontras, dan Forum Komunikasi Kasabua Ade (FOKKA) Jumat (24/02/2012) kemarin. Koordinator Kontras, Haris Azhar menyayangkan atas tindakan aparat yang menurutnya telah melakukan pelanggaran HAM. Selain itu juga respon hukum terhadap kejadian tersebut terbilang lambat dan diskriminatif. “Jika aksi kekerasan dilakukan oleh warga, penanganannya cepat, tetapi jika aparat yang melakukan kekerasan, sebaliknya” ungkap Haris Azhar. Hal tersebut menurutnya akan berimbas pada ketidakpercayaan masyarakat. Haris Azhar menambahkan seharusnya lembaga-lembaga terkait semisal Komnas HAM menjadi instrumen terdepan mengusut kasus ini. Tetapi, faktnya tidak demikian. “saya khawatir ini menjadi banalisasi terhadap magnitude kekerasan” ungkapnya. Sementara M Subhan ketua Forum Komunikasi Kasabua Ade (FOKKA) mengungkapkan masyarakat di Bima melakukan aksi tersebut karena menolak keberadaan tambang di daerah mereka. “Ada 11 mata air yang akan terancam jika dibangun tambang di daerah mereka” ungkap Subhan. Lanjut Subhan, pihaknya juga sudah melaporkan dan meminta bantuan kepada pemerintah dan pihak terkait menyoal perkara ini. Tetapi hanya Komnas Perempuan dan Kontras yang mau membantu mereka. Kekerasan yang menimpa masyarakat di Bima juga dirasakan oleh kaum perempuan dan anak-anak. Hal ini menjadi perhatian tersendiri bagi Komnas Perempuan. Seperti diungkapkan komisioner Komnas Perempuan Arimbi Heroeputri, kaum perempuan menjadi bagian yang paling rentan terhadap aksi-aksi kekerasan. Perempuan bisa menjadi korban kekerasan secara langsung ataupun tidak langsung. “29 korban kekerasan di Bima adalah perempuan” tegasnya. Terlebih jika beban keluarga harus ditanggung ketika suami mereka menjadi korban atau harus mendekam di penjara. Oleh sebab itu perlu adanya pemulihan bagi korban kekerasan di Bima secara komprehensif. Karena kekerasan yang dialami tidak hanya dalam bentuk fisik saja melainkan juga psikis. Pemulihan tersebut, kata Komisioner Komnas Perempuan Ninik Rahayu, menjadi penting dengan melakukan lima prinsip pendekatan. Pendekatan tersebut meliputi: berorientasi pada perempuan korban, berbasis hak, multidimensi, berbasis komunitas, dan berkesinambungan. [Mukhlisin] sumber: http://icrp-online.org/022012/post-1625.html
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H