Membaca berita tentang tragedy di Paris sungguh membuat frustasi. Bagaimana bisa manusia yang katanya berakal tega melakukan pembunuhan massal seperti itu. Di Paris, sedang tidak dalam situasi perang. Bukan daerah konflik. Tidak terjadi huru-hara. Semua normal, senyap dan damai. Tiba-tiba bum, suara bom dilanjutkan rentetan suara senjata ke arah kerumunan. Sungguh biadab.
Yang lebih membuat frustasi, banyak sekali yang kemudian membandingkan dengan pembunuhan-pembunuhan di Palestina, Suriah, Irak dan kemudian Myanmar. Seolah-olah membenarkan perbuatan biadab di Paris.
Berpikirlah. Serap informasi. Timbanglah. Semua orang mengutuk pembunuhan yang terjadi di Palestina, Suriah, Irak dan Myanmar. Hanya orang gila saja yang tidak berduka melihat pembunuhan dan pembantaian di sana. Tapi lihatlah, di semua daerah tersebut sedang terjadi konflik, sedang terjadi perang. Sungguh tak tepat jika dibandingkan dengan peristiwa di Paris. Ini sungguh mengusik akal sehat.
Kemarahan memang selalu mencari bentuk. Pelaku kekejaman di Paris, yang besar kemungkinan telah ‘dicuci’ otak-nya, mungkin saja memang melakukan sebagai balas dendam atas peristiwa di belahan dunia lain. Si pencuci otak dan/atau pelaku, sepertinya marah atas kebijakan luar negri Perancis. Ditambah lagi kejadian Charlie Heblon.
Tapi, orang yang terang akal dan waras pikir, harusnya tak mengeluarkan pernyataan sejenis “Itulah akibatnya…” dan “Tak usah bersimpati, bersimpati saja ke Palestina, Suriah, Irak dan Myanmar”. Dasar sakit! Dasar gila!