Menteri Luar Negeri Amerika Serikat, John Kerry melawat benua Asia di pertengahan bulan Februari dan singgah ke beberapa negara, yaitu Korea Selatan, China, Indonesia dan Uni Emirat Arab. Lawatan ini merupakan yang kelima bagi Kerry di tahun pertama jabatannya sebagai Menteri Luar Negeri ke benua yang menjadi fokus diplomasi pemerintahan Obama. Secara khusus, artikel ini memfokuskan perhatian kepada lawatan Kerry ke China dan Indonesia, serta maknanya bagi diplomasi dan kepentingan nasional.
Kunjungan di hari kasih sayang
Tepat pada tanggal 14 Februari yang diperingati sebagai hari kasih sayang di negara-negara barat, Menlu AS John Kerry mengawali kunjungan diplomatik yang kedua ke China. Hari tersebut juga merupakan hari yang istimewa di China, yaitu hari ke-15 di tahun baru imlek (yuanxiao jie) atau yang biasa dikenal di Indonesia sebagai Festival Cap Go Meh. Dalam lawatannya ke China, Menlu Kerry bertemu dengan Presiden Xi Jinping, Perdana Menteri Li Keqiang, Menlu Wang Yi dan Konselor Negara Yang Jiechi (yang sebelumnya menjabat Menlu). Secara keseluruhan, Kerry menggambarkan pertemuan tersebut sebagai “sangat positif dan konstruktif“. Lebih jauh lagi, Kerry menekankan bahwa hubungan antara AS dan China harus menjadi model bagi hubungan antara negara-negara besar lainnya di dunia. Kerry juga mendorong intensitas dan perluasan kerja sama kedua negara dalam bidang keamanan, ekonomi, energi dan konservasi lingkungan hidup. Senada dengan Kerry, Xi Jinping juga menyampaikan bahwa China bertekad untuk bersama-sama dengan AS membangun model baru untuk hubungan kedua negara besar ini.
Dalam pertemuannya dengan Menlu China, Kerry menegaskan bahwa AS tidak memiliki niat untuk menghalangi kebangkitan China yang damai. Wang Yi menggunakan kesempatan ini untuk kembali menegaskan kepentingan inti (core interest) China kepada AS. Secara khusus, dalam kasus Laut China Selatan (LCS), China berkepentingan untuk menjaga kestabilan dan perdamaian di LCS, menjaga keamanan dan kebebasan navigasi dan mengusahakan terwujudnya Deklarasi ASEAN tentang Laut China Selatan tahun 2002. Lebih lanjut lagi, Wang Yi menegaskan posisi China untuk menyelesaikan masalah kedaulatan wilayah di LCS secara bilateral dengan negara-negara yang bersangkutan.
Media dan akademisi China menggambarkan pertemuan antara Kerry dan para pejabat tinggi di Beijing sangat positif dan bermanfaat bagi kelanjutan hubungan dan kerjasama kedua negara. Nampaknya hari istimewa benar-benar memberikan kesejukan bagi kawasan yang rentan dengan konflik dan ketegangan ini.
Panas dingin hubungan US-China di kawasan
Lawatan Kerry ke Asia merupakan yang kelima sejak menjabat sebagai Menteri Luar Negeri menggantikan Hillary Clinton. Lawatan ini dilakukan di tengah kondisi yang tegang akibat sengketa wilayah kedaulatan antara negara-negara di kawasan Asia Timur dan Tenggara.
Di penghunjung tahun 2013, China sempat mengeluarkan Zona Identifikasi Pertahanan Udara (Air Defense Identification Zone, ADIZ) yang kemudian mendapat kecaman keras dari Jepang. Kebijaan ini mengharuskan pesawat asing yang melewati wilayah udara yang disengketakan, yaitu Pulau Diaoyu/Senkaku untuk mendapatkan izin dari otoritas udara China. Menlu Kerry dalam konferensi pers setelah mengadakan pertemuan dengan Menlu Jepang Fumio Kishida tanggal 7 Februari di Washington DC mengatakan bahwa negaranya tidak menerima pemberlakuan ADIZ oleh China di wilayah udara yang disengketakan. Kerry juga menyebutkan bahwa negaranya terikat dengan perjanjian pertahanan AS-Jepang tahun 1960 serta akan mengadakan pembelaan kepada Jepang jika mendapatkan serangan asing. Banyak pihak yang mengkhawatirkan bahwa China akan memberlakukan ADIZ kepada wilayah sengketa di Laut China Selatan yang secara otomatis akan menaikkan suhu politik di kawasan tersebut. Sempat diramalkan oleh media Barat bahwa lawatan Kerry ke Beijing akan memprioritaskan usaha diplomatik untuk mengagalkan niat China memberlakukan ADIZ di LCS.
Menurut BBC News, Kerry sempat menyinggung masalah sengketa wilayah dengan negara-negara tetangga China di Asia Tenggara dalam lawatannya ke Beijing kali ini, namun media-media arus utama di China seperti Global Times dan Xinhua tidak menyebutkan apapun tentang usaha diplomatik Kerry seputar masalah ADIZ. Yang jelas, dalam pertemuan kali ini, Kerry tidak menjadikan masalah sengketa wilayah territorial sebagai prioritas. Pertanyaannya ialah, jika masalah sengketa territorial tidak menjadi prioritas, kemudian apa yang menjadi prioritas dalam lawatan Kerry kali ini, dan apa pula maknanya bagi hubungan bilateral kedua negara?
Mencari kepentingan bersama untuk meredakan konflik
Dari sudut pandang AS, China adalah penyebab dari ketegangan di Laut China Timur (LCT) dan Laut China Selatan (LCS). China memiliki sengketa kedaulatan wilayah dengan negara-negara yang secara tradisional adalah sekutu AS di kawasan. Di antara diskursus politik internasional, tema “China yang asertif” (assertive China) menjadi sangat populer. Tahun 2009 tersebut, juga adalah tahun dimana China mulai menekankan apa yang disebut sebagai kepentingan inti. Kepentingan ini China ini didefinisikan oleh Konselor Negara Dai Bingguo dalam Dialog Strategis US-China tahun 2009 sebagai: 1) mempertahankan fondasi dan keamanan negara; 2) kedaulatan nasional dan keutuhan wilayah dan 3) stabilitas pembangunan sosial-ekonomi. Sejak artikulasi kepentingan inti China oleh Dai Bingguo, secara khusus butir yang kedua (kedaulatan nasional dan keutuhan wilayah) mendapatkan penekanan yang lebih dalam dan lebih sering oleh pejabat-pejabat tinggi China daripada kedua butir lainnya. Berdasarkan penelitian Michael Swaine dari Carnegie Endowment for International Peace terhadap pernyataan-pernyataan resmi pemerintah dan wawancara dengan pejabat-pejabat tinggi China, butir kedua menjadikan Taiwan, Tibet dan Xinjiang sebagai prioritas utama. Ini tidak berarti bahwa sengketa LCS tidak menjadi kepentingan nasional China, namun seperti disampaikan sebelumnya, China terbuka untuk mengadakan perundingan bilateral dengan pihak-pihak terkait pada masalah LCS, namun tidak untuk ketiga wilayah di atas.
Dari sudut pandang China, AS dipandang sebagai pihak yang bermuka dua. Dalam pertemuan dengan China selalu menyatakan netralitas di masalah sengketa wilayah LCS, namun di kesempatan lain menunjukkan sikap yang berpihak kepada negara tertentu. AS juga sering menyampaikan pesan untuk menjadi mitra dan tidak bermaksud membendung kebangkitan China, namun China melihat bahwa langkah-langkah AS juga seringkali berlawanan dengan pesan tersebut.
Bagaimanapun AS dan China adalah dua negara besar yang memiliki banyak kepentingan yang sama. Hubungan dan kerjasama antara keduanya sangat menguntungkan bagi kedua pihak dan bagi dunia. Kerjasama antara kedua negara besar ini sangat ditentukan oleh adanya saling percaya dan saling menghormati kepentingan nasional masing-masing negara. He Kai dan Feng Huiyun dari Universitas Negara Bagian Utah mengajukan sebuah pemikiran yang otentik. Mereka mengatakan bahwa kebangkitan China yang damai adalah bagian dari proses tawar menawar kepentingan nasional antara China dengan AS dan negara-negara lain. Melalui diplomasinya, China telah menyampaikan hal-hal yang menjadi kepentingan inti. Kepentingan inti ini disampaikan bukan untuk menjadi bahan negosiasi tetapi untuk dihormati oleh pihak lain. Oleh karena itu, untuk melihat China yang bangkit dengan damai, AS dan negara-negara lain termasuk Indonesia perlu untuk memperhatikan dengan seksama apa yang menjadi kepentingan inti China dan berusaha untuk menghormatinya. Sebaliknya China juga diminta untuk berhati-hati agar tidak “memperluas“ kepentingan intinya. Ada kecenderungan bahwa semakin kuat suatu negara, semakin besar keinginan untuk menambahkan hal-hal baru dalam daftar kepentingan nasionalnya. China tentu saja diharapkan untuk tetap berjalan pada jalur kebangkitan tanpa konflik yang berakar pada filosofi Konfusius yang cinta damai, seperti yang selalu diungkapkannya kepada dunia.
Selain saling menghormati kepentingan inti masing-masing negara, hal lain yang tidak kalah penting adalah memperluas kepentingan yang bersama. Dalam konteks inilah, lawatan Kerry bisa dimaknai. Kerry melawat ke Beijing bukan dengan memprioritaskan masalah sengketa wilayah di LCS atau LCT, seperti yang diramalkan oleh media Barat, tetapi dengan memprioritaskan proposal kerjasama yang menjadi kepentingan bersama kedua negara. Salah satu masalah yang “memaksa“ negara-negara untuk bekerja sama adalah energi terbarukan dan perubahan iklim. AS dan China adalah kedua negara dengan penghasil karbondioksida terbesar di dunia. Kedua negara besar ini, bersama dengan seluruh negara di dunia bertanggung jawab untuk melawan akibat perubahan iklim dan menjadikan dunia menjadi tempat yang lebih layak dihuni.
Dalam konteks menggarap kepentingan bersama inilah, kita memahami apa yang disebut oleh kedua pemimpin negara tersebut bahwa AS dan China menyusun “model baru“ hubungan negara besar sebagai contoh bagi dunia. Ada kalanya mereka berselisih pendapat, ada kalanya mereka duduk satu meja bekerja untuk kepentingan bersama. Di masa depan hubungan kedua negara akan sangat bergantung pada kelihaian mempraktekan “seni berselisih dan mengolah kepentingan“.
Makna untuk Indonesia
Bagi seorang rasional seperti John Kerry, pemilihan negara yang akan dikunjungi bukanlah sebuah hasil dari mimpi di siang bolong. Indonesia dipilih di antara negara-negara Asia yang lain karena beberapa faktor:
Pertama, ini adalah bentuk pengakuan terhadap peran diplomasi Indonesia di kawasan. Indonesia di abad ke-21 ini dikaruniai modal yang sangat besar untuk menggerakkan mesin diplomasinya. Salah satu faktor yang menguntungkan adalah karena Indonesia tidak memiliki musuh ataupun rival, baik di dunia maupun di kawasan. Dalam waktu dua dekade setelah normalisasi hubungan dengan China, Indonesia telah memiliki hubungan yang sangat menjanjikan dan bahkan berhasil meningkatkan hubungan tersebut sampai kepada tahap mitra strategis. Di ASEAN, Indonesia bukan hanya negara terbesar dari segi populasi, namun Indonesia terbukti bisa menjadi barometer stabilitas dan keamanan bagi negara-negara di sekitarnya. Demokrasi yang semakin kokoh dan perekonomian yang berkembang menempatkan Indonesia sebagai negara yang layak memimpin ASEAN. Pengakuan ini bukan hanya diberikan Kerry melalui kunjungannya ke Jakarta bulan Februari ini, namun China juga telah menyadari pentingnya peran Indonesia di kawasan dengan dipilihnya Indonesia sebagai negara Asia Tenggara pertama yang dikunjungi Presiden Xi Jinping pada bulan Oktober tahun lalu. Laman The Diplomat, sebagai salah satu laman international politik bergengsi di Barat memuji Indonesia sebagai negara yang mampu menunjukkan performa positif di kawasan dengan kebijakan “Million Friends and Zero Enemy”. Indonesia disebut telah berhasil “memperdengarkan suara-suara yang menarik perhatian, walaupun belum menghasilkan musik”. Kunjungan Kerry kali ini memiliki maksud agar Indonesia dapat meneruskan peran positifnya di kawasan sekaligus menjaga hubungan kedua negara pasca terpilihnya pemerintahan yang baru.
Kedua, AS bermaksud untuk mendukung ASEAN dalam menjaga kestabilan kawasan. Peran ASEAN telah terbukti mampu menjaga stabilitas di kawasan dan menjauhkan LCS dari konflik yang serius. AS mendukung agar ASEAN menjadi motor dari terwujudnya Deklarasi ASEAN di LCS yang “mengunci” semua pihak yang terikat untuk senantiasa menahan diri dan tidak memperkeruh suasana. Sekalipun AS bukan pihak yang terlibat langsung dalam sengketa wilayah LCS, namun AS telah menyatakan kepentingan nasionalnya di LCS pada ASEAN Regional Forum 2010. Kepentingan tersebut menyangkut kebebasan navigasi kapal-kapal AS di LCS yang akan terganggu dengan instabilitas di kawasan.
Ketiga, kunjungan Kerry patut dilihat sebagai kesempatan Indonesia memajukan kerjasama di bidang energi. Setelah berubah nasib dari negara pengekspor menjadi negara pengimpor minyak bumi, Indonesia menjadi lebih tergantung kepada asing dari segi energi. Kunjungan Kerry yang menggaris bawahi pentingnya melawan perubahan iklim harus dilihat sebagai kesempatan Indonesia untuk mengadakan kerja sama di bidang energi. Indonesia adalah negara dengan potensi energi terbarukan yang luar biasa besar. 40% dari cadangan panas bumi dunia dikaruniakan oleh alam kepada negara kita. Demikian pula potensi-potensi lain yang menjanjikan seperti energi surya dan energi air. Kunjungan Kerry ke Indonesia harus ditindak lanjuti dengan kerjasama investasi dan iptek di bidang energi terbarukan. Bukan hanya AS, China juga telah menjadi negara dengan peningkatan kapasitas energi terbarukan tercepat di dunia. Oleh sebab itu kerjasama dengan semua pihak untuk mengolah kekayaan alam Indonesia adalah sangat darurat sifatnya bagi ketahanan energi nasional. Energi terbarukan adalah energi masa depan, negara yang menguasai dan mengolah potensi energi terbarukan adalah negara yang mampu menjamin kelangsungan pembangunan nasional.
Akhirul kalam, Indonesia adalah negara yang dikaruniai dengan potensi geopolitik dan kekayaan alam yang luar biasa. Pemerintah yang baru harus melihat hal ini sebagai cambuk untuk meningkatkan peran diplomasi Indonesia. Sudah saatnya kita mengolah semua potensi tersebut untuk kepentingan nasional dan sumbangsih yang lebih besar bagi perdamaian kawasan dan dunia.
Sydney, 15 Pebruari 2014
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H