Perkenalan terhadap Islam perlu disesuaikan dengan konteks budaya setempat, dengan tetap mematuhi aturan dan hukum yang terdapat dalam al-Qur'an dan Hadits. Proses ini tidak hanya berfokus pada penafsiran tekstual, melainkan juga mempertimbangkan konteks budaya secara keseluruhan. Penulis berpendapat bahwa studi antropologi merupakan pendekatan yang tepat untuk menerapkan pendekatan kontekstual ini, di mana Islam diperkenalkan sesuai dengan realitas budaya masyarakat setempat.
Contohnya, perbedaan dalam memperkenalkan ajaran Islam di Indonesia dan di Swiss. Indonesia, dengan mayoritas penduduknya yang beragam dan kental akan warisan budayanya, dianggap lebih menerima dan memahami ajaran Islam karena telah menjadi salah satu agama warisan nenek moyang di sana. Di sisi lain, di Swiss yang konon memiliki jumlah umat Islam sebagai minoritas, diperlukan kehati-hatian ekstra dalam memperkenalkan ajaran dan hukum Islam. Ini mengisyaratkan bahwa menjadi seorang Muslim di Eropa tidaklah semudah menjadi Muslim di Asia Tenggara atau di negara-negara dengan mayoritas penduduk beragama Islam.
Dalam era kontemporer, kehadiran cendekiawan Muslim di Eropa dipandang sebagai manifestasi kebesaran Allah Subhanahu wa ta'ala. Mereka berperan sebagai penjaga umat Islam dari berbagai tekanan yang dihadapi di tengah masyarakat Eropa. Salah satu cendekiawan Muslim terkemuka dalam era modern ini adalah Tariq Ramadan, seorang ilmuwan yang memiliki hubungan kekerabatan dengan Hasan al Banna, pendiri Ikhwanul Muslimin. Tariq Ramadan, dengan pemikiran-pemikirannya yang cemerlang, berupaya memberikan solusi dan jalan keluar bagi umat Muslim di Eropa, khususnya di Swiss, yang dihadapkan pada tekanan-tekanan kompleks. Keberhasilannya sebagai seorang ilmuwan Muslim di Eropa tidak hanya mencerminkan prestasi pribadinya, tetapi juga sebagai representasi dari kontribusi cendekiawan Muslim dalam menjaga identitas dan kesejahteraan umat Islam di lingkungan yang berbeda-beda.
Biografi Tariq Ramadhan
Tariq Ramadan, atau yang lengkapnya Tariq bin Said, lahir pada 26 September 1962 di Jenewa, Swiss. Ibunya, Wafa al-Banna, adalah putri dari ulama dan mujahid terkemuka dalam Islam, yakni Sheikh Hasan al-Banna, pendiri organisasi Ikhwanul Muslimin (Persaudaraan Muslim). Sedangkan ayahnya, Said Ramadan, berasal dari Tanta, Mesir. Pada masa pemerintahan Gamal Abdel Nasser, Said Ramadan memutuskan untuk pindah ke Swiss sebagai bentuk hukuman pembuangan. Keputusan ini diambil pada tahun 1961, dan di sana, Said Ramadan mendirikan Islamic Center.
Tariq Ramadan mengawali perjalanan intelektualnya dengan mengejar pendidikan di bidang filsafat dan sastra Prancis. Ia kemudian melanjutkan studinya di Mesir, di mana ia memperdalam pemahamannya terhadap Islam dan tradisi-tradisi keilmuan Muslim. Pendidikan formalnya yang luas menciptakan dasar yang kokoh untuk pengembangan pemikiran dan pandangan dunianya. Beliau juga berperan penting dalam merespons tantangan dan pertanyaan yang dihadapi oleh umat Islam dalam konteks dunia modern. Pemikirannya mencakup berbagai aspek kehidupan, termasuk sosial, ekonomi, politik, dan budaya. Salah satu konsep sentral dalam pemikirannya adalah ide bahwa nilai-nilai Islam dapat diintegrasikan secara harmonis dengan nilai-nilai modernitas.
Pemikirah Tariq Ramadhan
- Pemikiran Tentang Budaya
Salah satu sumbangsih utama Tariq Ramadan adalah peran aktifnya dalam dialog antarbudaya. Ia memperjuangkan pemahaman yang lebih baik antara dunia Muslim dan dunia Barat, menyoroti kesamaan dan persamaan antar keduanya. Ramadan percaya bahwa melalui dialog, mispersepsi dan stereotip yang seringkali mewarnai hubungan antarbudaya dapat diatasi.
Sebagian umat Islam dihadapkan pada tantangan untuk menerima budaya lain, terutama budaya yang berasal dari Eropa. Penerimaan atau penolakan terhadap asimilasi budaya dapat memengaruhi keberhasilan proses tersebut, yang pada dasarnya tergantung pada sejauh mana suatu budaya dapat terbuka terhadap unsur-unsur dari budaya lain. Dalam konteks kehidupan sosial, seseorang diharapkan melakukan adaptasi terhadap kebiasaan, tradisi, dan budaya masyarakat di tempat tinggalnya.
Tariq Ramadan, seorang pemikir Muslim, menganggap proses asimilasi sebagai suatu keharusan. Baginya, kesuksesan agama Islam di Eropa terkait erat dengan sejauh mana umat Islam dapat membuka diri terhadap asimilasi budaya. Menurutnya, jika tidak ada keterbukaan terhadap budaya setempat, maka ruang bagi agama Islam untuk bertahan di Eropa menjadi terbatas. Tariq Ramadan mendorong umat Islam untuk bersikap terbuka dan melakukan ijtihad, terutama dalam memahami aspek-aspek budaya Eropa, seperti norma berpakaian. Kesediaan untuk beradaptasi dengan budaya setempat dianggapnya sebagai langkah kritis untuk memperkuat posisi Islam di tengah masyarakat Eropa yang pluralistik.
Meskipun mengakui perbedaan akar kultural, Tariq Ramadan bersama dengan banyak pemikir dan aktivis lainnya, menyerukan kepada pemerintah untuk mengakui dan bahkan mengakomodasi perbedaan praktik kultural tersebut secara politik, sehingga umat Muslim dapat menjadi bagian dari ruang publik di Eropa. Pendekatan ini mencerminkan upaya untuk membangun pemahaman yang lebih inklusif dan menerima terhadap keberagaman budaya dan agama di tengah masyarakat yang semakin global dan beragam. Ramadan menegaskan perlunya mengatasi perbedaan kultural dengan pendekatan yang terbuka dan berdampingan, seiring dengan perubahan dinamika sosial dan migrasi yang melibatkan umat Muslim di berbagai belahan dunia.
- Konsep Negara Musuh dan Negara Islam