Mohon tunggu...
Fiksiana

Love or Hate? (Bab 2)

3 Mei 2015   21:52 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:25 45
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Anggota Baru

“Baiklah. Sudah pukul 12.30. Mari keluar.” Ajak Reina pada seluruh anggota Silver Choco.

“Hari ini kita akan kemana?” tanya Mia pada Reina.

“Pergi kemana?” tanya Tsuga penasaran.

“Makan siang. Kau tidak lapar?” kata Jhonny sembari membereskan alat gambarnya.

“Oh. Bolehkah aku ikut dengan kalian?” tanya Tsuga.

“Apa maksudmu dengan pertanyaan itu? Seluruh anggota wajib makan siang bersama setiap pertemuan wajib.” Kata Jhonny yang sudah selesai membereskan peralatan gambar miliknya.

“Itu peraturan?” tanya Tsuga.

“Semacam itulah.” Jawab Andrew.

“Baiklah. Ayo pergi.” Kata Mia yang sudah berjalan menuju pintu depan bersama dengan Reina.

Tsuga, Reina, Andrew, Mia, serta Jhonny pergi menaiki mobil peninggalan Trevor kakak dari Reina sekaligus pendiri klub Silver Choco.

“Kemana kita akan pergi untuk makan hari ini?” tanya Jhonny spontan.

“Bagaimana dengan tempat biasanya?” tanya Reina yang menyebutkan restoran kecil tempat biasa Silver Choco menghabiskan waktu makna siang.

“Kau sungguh membosankan, Rei.” Kata Jhonny menanggapi ajakan Reina.

“Baik, baik. Lalu siapa yang memiliki saran silahkan katakan.” Balas Reina sembari melirik ke arah Jhonny.

“Ah. Sebenarnya aku sedang tidak punya saran.” Jawab Jhonny seraya mengunyah jajanan yang tengah ia makan.

“Aku ada ide. Bagaimana kalau ke tempat baru yang ada di depan?” Tsuga mengeluarkan saran seraya menunjuk ke arah kedai yang di depannya tertulis kata ‘Baru Dibuka’.

“Mencoba sesuatu yang baru tidak ada salahnya, bukan?” ucap Andrew tanda menyetujui usul yang baru saja diberikan oleh Tsuga.

Andrew membelokkan mobil ke arah restoran yang dimaksudkan.

“Baik. Ayo turun.” Kata Mia yang sedari tadi sudah lapar.

Setelah itu, Tsuga, Reina, Andrew, Jhonny serta Mia duduk di dalam restoran dan memesan makanan masing-masing.

Sesaat setelah makanan yang dipesan telah lengkap berada di atas meja makan, Reina mengambil inisiatif memimpin doa sebelum makan.

“Baik. Mari makan.” Ucap Reina mengambil peralatan makan yang ia butuhkan.

“Hei, kelihatannya punyamu enak.” Kata Jhonny seraya mengambil telur gulung yang ada di atas piring Mia.

“Hei! Makan punyamu sendiri.” Tegur Mia pada Jhonny dengan nada kesal. “Nah. Kalau begini, ‘kan impas.” Lanjut Mia mengambil pangsit rebus di atas mangkuk Jhonny.

“Tsuga, mohon dimaklumi kelakuan kekanak-kanakan Mia dan Jhonny.” Kata Andrew spontan.

“Ah? Tidak masalah.” Tsuga menanggapi dengan tenang.

“Bolehkah aku bertanya?” Andrew menoleh ke arak Tsuga yang tengah mengaduk-aduk mangkuk yang ada di meja makan.

“Tentu saja.” Jawab Tsuga singkat.

“Kau masih saja menjawab singkat. Belum mau berbincang panjang lebar, ya?” tanya Jhonny yang tiba-tiba memasuki percakapan.

“Oh. Aku hanya belum terbiasa mengucapkan kalimat panjang.” Jawab Tsuga.

“Tak apa. Setidaknya kau mau berbiara serta berinteraksi dengan kami. Itu sudah cukup.” Kata Reina ramah.

“Ya. Terbiasalah dengan suasana kami. Kami memang sedikit berisik dan selalu berinteraksi satu sama lain.” Andrew menjelaskan keadaan Silver Choco.

“Tidak masalah.” Kata Tsuga. “Lagi pula, kalian sedikit menyenangkan.” Lanjut Tsuga seraya menambahkan lada bubuk ke dalam mangkuk mie-nya.

“Sedikit, ya?” Jhonny tiba-tiba bergumam.

“Eh? Bukan. Maksudku, aku akan beradaptasi dengan cepat. Karena kalian memang. Uhm. Memang baik dan menyenangkan.” Kata Tsuga menanggapi gumaman Jhonny.

“Hei, kami belum pernah melihatmu tersenyum sebelumnya.” Kata Jhonny memanjangkan percakapan.

“Oh.” Tsuga menanggapi.

“Benar. Ayo, tersenyumlah untuk kami.” Kata Mia melanjutkan.

“Dia akan tersenyum kalau dia mau. Jangan memaksanya. Lagi pula, orang pendiam sepertinya akan butuh waktu untuk bisa berinteraksi dengan Silver Choco. Benar, kan Tsuga? Hehehe...” kata Reina yang tidak bermaksud untuk menyinggung.

“Hm.” Lagi-lagi Tsuga membalas dengan anggukan kepala.

“Lanjutkan makannya. Ini sudah hampir pukul 14.00.” kata Andrew menasihati.

Setelah menghabiskan makanan, Reina membayar tagihan bill di meja kasir.

“Berapa yang harus kubayar?” tanya Tsuga pada Reina setelah mereka berada di mobil.

“Untuk apa?” tanya Reina bingung.

“Makanan.” Jawab Tsuga singkat.

“Eh. Tidak usah. Hari ini, kau memutuskan untuk bergabung dengan Silver Choco. Aku yang traktir. Tenang saja.” Reina menjelskan.

Lalu mereka kembali ke ‘kantor’ dan melanjutkan kegiatan menggambar serta menulis yang mereka kerjakan sebelum makan siang. Tsuga masih belum banyak bicara karena merasa belum terbiasa bicara banyak sejak masuk SMA.

“Ehem.” Jhonny membersihkan tenggorokan, “Sudah sore. Aku akan pulang. Kekasihku sudah menunggu untuk dijemput.” Kata Jhonny dengan percaya diri.

“Cih. Memang kau punya kekasih?” tanya Mia meremehkan.

“Tentu saja aku punya.” Kata Jhonny, “Memangnya aku sepertimu?” lanjut Jhonny menyela Mia.

“Kau!” Mia melemparkan penghapus yang ada di atas meja ke dahi Jhonny.

“Auw. Sakit.” Kata Jhonny spontan.

“Sudah sana pergi. Kekasihmu sudah menunggu, kan?” tanya Reina.

“Baiklah. Sampai jumpa.” Kata Jhonny melangkah keluar dari ‘kantor’.

“Salam untuk video game-mu di rumah, ya.” Kata Tsuga seraya melambaikan tangan ke Jhonny.

“Bagaimana dia tahu bahwa yang kumaksudkan ‘kekasih’ adalah ‘video game di rumah’? pikir Jhonny dengan muka memerah karena malu, “Tentu. Akan kusampaikan.” Kata Jhonny membalas lambaian tangan Tsuga. Lalu pergi.

“Hei, bagaimana bisa kau tahu bahwa ‘kekasih’ Jhonny adalah video game?” tanya Reina seraya tersenyum.

“Hanya menebak.” Balas Tsuga yang sedang sibuk membuat panel untuk manga yang tengah ia buat.

“Tebakan sempurna. Jackpot.” Kata Reina seraya berjalan ke arah tempat Tsuga duduk.

“Keberuntungan.” Tsuga membalas perkataan Reina.

“Boleh kulihat gambarmu?” tanya Reina yang sudah berada di belakang Tsuga.

“Tentu.” Kata Tsuga seraya menyodorkan gambar yang telah ia buat kemarin saat di taman.

“Kau mangaka berbakat.” Kata Reina terkagum-kagum seraya menatap gambar Tsuga yang berada di tangannya.

“Usaha membuahkan hasil.” Tsuga masih terus membuat panel pada kertas gambar di atas meja.

“Tidak, tidak. Kau benar-benar terlahir untuk menggambar.” Kata Reina masih kagum.

“Aku hanya sering melihat manga saat aku masih di Tokyo.” Kata Tsuga membalas pujian yang dilontarkan Reina barusan.

“Oh. Kau besar di Tokyo, ya?” Reina bertanya dan kembali menyerahkan kertas yang tadi ia pegang kepada Tsuga.

“Hanya sampai kelas 5 SD.” Jawab Tsuga.

“Lalu kau melanjutkan pendidikan di mana?” Reina bertanya.

“Di Jirasuno.” Tsuga menjawab seraya mulai menggambar original character pada kertas yang sedari tadi didiamkan di atas meja.

“Di Jirasuno? Dimana?” Reina bertanya terus menerus.

“Haruskah aku menjawabnya?” Tsuga bertanya dengan nada datar.

“Ah. Maaf. Kau tidak harus menjawabnya. Aku hanya penasaran saja.” Kata Reina melangkah kembali ke tempat duduknya.

“Hm.” Tsuga menjawab dengan gumaman dan anggukan seperti biasanya.

“Reina, kau tidak pulang?” tanya Andrew yang sudah siap untuk pulang.

“Pukul berapa sekarang?” tanya Reina melihat jam tangannya yang menunjukkan pukul 17.05.

“18.10.” Tsuga menjawab pertanyaan Reina dan melanjutkan gambarnya.

“Yang benar saja. Jam ini menunjukkan kesesatan.” Reina bergumam seraya mengutak-atik jam tangan tua yang ia gunakan.

“Hahaha... ‘Kesesatan’ ya?” kata Andrew. “Baiklah. Aku akan pulang sekarang. Jangan pulang terlalu malam, ya.” Andrew melanjutkan.

“Baik. Hati-hati di jalan, kak.” Kata Reina pada Andrew yang telah melangkah ke luar.

“Ya.” Jawab Andrew seraya melambaikan tangan.

“Kau belum akan pulang?” tanya Reina pada Tsuga.

“Belum.” Jawab Tsuga singkat, “Tapi kalau kau sudah ingin pulang dan akan mengunci ‘kantor’, aku akan melanjutkan pekerjaanku di tempat lain.” Lanjut Tsuga yang masih saja fokus ke pekerjaannya.

“Tidak, aku masih akan berada di sini.” Kata Reina menanggapi kata-kata Tsuga.

“Baiklah.” Tsuga tidak berpaling dari pekerjaannya.

Selama Tsuga dan Reina bekerja, ruangan sangatlah hening. Reina tidak mau mengganggu Tsuga yang pendiam dan selalu fokus pada apa yang ia kerjakan, jadi Reina hanya berdiam diri sambil mengetik cerita yang tengah ia kerjakan.

Jam dinding di ruangan menunjukkan pukul 8 lewat 3 menit.

“Tsuga, aku akan pulang dan mengunci pintu.” Kata Reina pada Tsuga yang masih saja menggambar.

“Hm.” Tsuga menanggapi dan langsung membereskan alat-alat menggambar serta kertas-kertas yang berserakan di atas meja.

“Kau tidak akan membawa pulang pekerjaanmu?” tanya Reina yang melihat Tsuga meletakkan pekerjaannya di sudut meja.

“Tidak. Akan lebih tenang jika aku tidak harus bekerja saat di rumah.” Kata Tsuga menanggapi pertanyaan yang baru saja dilontarkan Reina yang sudah siap untuk pulang.

“Benar juga.” Reina menyetujui kata-kata Tsuga.

Reina dan Tsuga pulang ke rumah masing-masing tanpa banyak bercakap-cakap setelah Reina mengunci pintu ‘kantor’ Silver Choco.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun