Selasa, (21 Mei 2024) Mahasiswa KKN Reguler ke 82 dari kelompok 06 UIN Walisongo Semarang mengadakan kunjungan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) pembuatan kolang-kaling di Dusun Jolinggo Desa Getas Kecamatan Singorojo Kabupaten Kendal. Di desa ini, pohon aren dimanfaatkan oleh penduduk untuk menghasilkan berbagai produk olahan konsumsi. Selain mengambil nira untuk bahan baku gula aren, buah pohon aren juga diproses menjadi bahan campuran minuman yang disebut kolang-kaling. Kolang-kaling adalah hasil buah pohon aren yang memiliki karakteristik berwarna putih transparan dan tekstur yang kenyal.Â
Mahasiswa KKN turut serta dalam praktik pembuatan kolang kaling yang dipandu oleh Pak Sudi. Mereka mempelajari proses dari awal hingga produk akhir. Tujuan kegiatan ini adalah untuk mengetahui cara pembuatan kolang kaling dan agar kita lebih mengenal dengan makanan tradisional serta berpartisipasi dalam membangun jaringan dan pengembangan bersama pelaku UMKM lokal, yang diharapkan dapat memberikan wawasan dan pemahaman tentang kewirausahaan.
Proses pengolahan buah kolang-kaling menjadi produk siap konsumsi melibatkan langkah-langkah berikut:
3. Pengupasan: Setelah buah aren direbus dan ditiriskan, kulitnya dikupas dengan hati-hati saat buah sudah dingin. Biji buah direndam semalaman, dipipihkan, dan direndam kembali selama 3-4 hari untuk mendapatkan tekstur yang empuk dan kenyal. Jika kolang-kaling sudah berwarna bening, produk tersebut siap untuk dijual.
Industri yang dijalankan oleh Pak Sudi mampu memproduksi kolang-kaling hingga 100 kilogram setiap minggu, dengan harga jual Rp10.000,- per kilogram. "Wong sini percaya kalo makan kolang-kaling jumlah ganjil kaya 3,5,7 dan 9 bisa jadi obat, yang dalam bahasa jawa disebut 'tombo' atau penyembuh."  Ungkap  Bu Uut sebagai pemilik UMKM kolang-kaling.
Tradisi tombo ganjil dalam mengkonsumsi kolang kaling merupakan sebuah kepercayaan lokal yang menarik. Tradisi ini meyakini bahwa  mengosumsi kolang kaling dalam jumlah ganjil dapat memberikan manfaat kesehatan, bagaikan obat alami atau "tombo" dalam bahasa jawa. Tradisi ini mengingatkan akan pentingnya menjaga kesehatan dengan memanfaatkan bahan-bahan alami.
Penulis : Ahmad Farid (Divisi Kominfo)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H