Menjadi penikmat memang umunya semua orang turut merasakanya, segala sesuatu dalam bentuk apapun itu selalu jadi bahan konsumsi entah itu bagian dari seleranya pun suatu hal yang tidak disukainya namun karena dorongan rasa keinginan tahunya membuat dirinya memaksa menikmatinya. Saya berani bertaruh bahwa penikmat adalah orang-orang yang dalam pandanganya selalu diisi dengan berbagai macam persepsi tentang suatu hal yang dinikmatinya, tentu itu tidak salah justru, sebagai mahkluk penafsir berhak atas caranya sendiri dalam mengamati, menikmati seluruh aspek dilingkunganya.
Dalam hal menikmati, tentu beragam aspek yang dinikmati wajar jika berbarengan dengan itu akan amat kuat  merasuk dalam diri seseorang, lebih jauh memunculkan pengaruh-pengaruh sekaligus membentuk dan mengubah pola pikir,prilaku, kebiasaan yang mengarah pada delusi .
Di sini saya tidak menjelaskan secara spesifik penikmat dalam hal apa.tapi saya mencoba mendefenisikan penikmat dalam perspektif multi realitas sosial. Keterhanyutan menjadi seorang penikmat membawa individu masuk kedalam lingkaran realitas yang penuh kenaifaan, ini tentu sangat beralasan, kalo menilik bagaimana aktivitas seseorang mau dan  menerima begitu saja apa yang disodorkan kehadapanya. Lebih-lebih ketika segala hal baru cepat dan dapat dengan mudah diakses. Penikmat yang kurang`kritis justru kadang kala kurang memperhatikan manfaat yang bisa diambil (pesan,makna) sehingga yang terjadi secara serampangan mengkonsumsinya (barang, makanan, dan kemewahan alat IPTEK) Â
Ketersediaan dalam segala aspek kehidupan aktivitas manusia sungguh sulit dihindarkan, dan ini yang membuat keinginan selalu mendahului kebutuhan dasar, belum lagi muncul satu keharusan yang tertanam dari dalam diri seseorang  memungkinkan untuk mencoba memenuhinya dengan membangun anggapan bahwa ini sudah jadi kebiasaan awan dan tentunya apa terjadi sekarang segera juga diikuti. Logika awam identik dengan  penikamat yang jarang menimbang terhadap suatu fenomena baru yang muncul     , tatakala menerima secara pasif sehingga kemudian melupakan unsur kegunaan dari kebiasaan yang terus-menerus berlangsung (Objek yang dipengaruhi).
Menjadi penikmat tentu tidak salah,semua orang penikmat. tapi harus dipastikan terlebih dahulu posisi penikmat yang seperti apa, diluar maupun didalam diri sarat dengan berbagai macam yang dinikamti. Namun apakah setiap orang sudah mengelola dengan baik dan kritis faktor-faktor kenikmatan yang dibawah kedalam dirinya. Krisis menjadi seseorang penikmat menimbulkan kehilangan kreativitas, potensi, kelebihan dalam diri seseorang. Nyaris dalam hal ini pola pikir yang kritis, kreatif, dan sikap meragukan tersingkir secara perlahan.
Bagaiamana tidak, fenomena-fenomena yang berseliweran di media sosial selalu dianggap trendsetter inipun tidak tidak sedikit orang menafikanya semua berlomba-lomba ingin mendapatkan junjungan dari khayalak, disini peran penikmat dihadapakan pada suatu sikap yang bersifat ambivalensi. Semua terbentuk sedemikian rupa, setiap orang meninginkan adanya batas-batas bagaimana agar wujud eksistensi diri harus melampaui realitas-realitas yang banyak dimanipulatif. Penikmat haruslah melihat lebih dalam fenomena-fenomena seperti ini.
Menempatkan diri sebagai penikmat memang mengenakan, tetapi jika itu selalu tertanam dan terbawah dan tanpa ambil suatu perspektif pengecualiaan, alhasil akan terbentuk menjadi seorang penikmat yang naf.
Di era sekarang betapa pentingnya seorang penikmat dengan pola berpikir kritis, tentu ini sangat diperlukan dimana akan menjadi suatu tumpuan dalam mengamati dan menikamti suatu fenomena. Menurut  Mertes,(1991) Berfikir Kritis ini merupakan suatu proses yang sadar dan juga sengaja yang digunakan untuk dapat menafsirkan serta juga mengevaluasi informasi dan pengalaman dengan sejumlah sikap reflektif dan juga kemampuan yang memandu keyakinan dan juga tindakan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H