Jumat, 20 Januari 2023 melalui survei yang dilakukan mahasiswa Kuliah Kerja Nyata (KKN) kelompok 19 Desa Purwoasri, mahasiswa KKN berkesempatan bertemu dengan tujuh koordinator kelompok tani Desa Purwoasri, diantaranya yaitu Pak Sumali, Pak Yakin, Pak Sholikin, Pak Jumal, Pak Irsyad, Pak Saniran dan Pak Bambang. Selama berdiskusi dengan kelompok tani tersebut, KKN kelompok 19 mendapatkan informasi mengenai dilema yang dialami masyarakat terutama petani dalam penggunaan pupuk.
Dalam fakta lapangan yang didapat dari jajak pendapat dengan beberapa koordinator kelompok tani, didapatkan informasi bahwa para petani kesulitan dalam mendapatkan jatah pupuk kimia. Jatah pupuk ini sendiri dibatasi karena adanya mekanisme pembelian pupuk subsidi melalui Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok (RDKK). Sehingga mau tidak mau petani diharuskan untuk membeli pupuk kimia non subsidi agar bisa memenuhi kebutuhan tanamannya.Â
Di satu sisi juga, didapatkan fakta bahwasanya sebagian besar masyarakat yang ada di purwoasri tersebut masih minim literasi seputar pupuk dan tanaman. Hal ini dapat diketahui dari potensi pupuk organik sebagai bahan substituen dari pupuk kimia belum bisa dikelola bahkan tidak digunakan oleh sebagian masyarakat luas yang ada di daerah tersebut.
Dalam data yang didapat dari Balai Penyuluhan Pertanian serta koordinator kelompok tani, didapatkan ada beberapa petani saja dari Desa Purwoasri yang menggunakan pupuk organik. Mirisnya lagi hanya sekitar 5% dari 7 kelompok tani yang menggunakan pupuk organik dan itupun pupuk organik yang digunakan berbentuk cair. Karena pembuatannya yang lebih simpel daripada pembuatan pupuk organik padat. Selain itu alasan mereka lebih memilih pupuk organik cair dari pada pupuk organik padat karena lebih mudah dalam pengaplikasian dan mobilitasnya serta waktu fermentasi lebih cepat dari pada yang berbentuk padat.Â
Kurangnya minat petani dalam pembuatan dan pengaplikasian pupuk organik baik yang bersifat padat ataupun cair. Membuat mereka lebih rentan dalam menghadapi fenomena ketersediaan pupuk kimia yang semakin dibatasi pada hari ini. Adapun kerentanan itu sendiri juga tidak hanya terletak dari bagaimana kurangnya pengetahuan para petani dalam pembuatan dan juga pengaplikasiannya serta pemakaian pupuk organik cair itu sendiri akan tetapi juga disebabkan oleh beberapa hal.
Adapun hal itu disebabkan oleh stigma dan stereotip masyarakat petani yang menggunakan pupuk kimia, mereka mendapatkan waktu panen yang lebih cepat daripada penggunaan pupuk organik karena dengan menggunakan pupuk kimia pertumbuhan tanaman akan semakin cepat karena bahan dan zat yang dibutuhkan tanaman akan terpenuhi secara langsung. Namun di sisi lain, para petani juga harus memikirkan dampak yang negatif jika terus dilanjutkan dengan penggunaan pupuk kimia. Dampak yang dimaksudkan adalah berupa tanah yang asam dan apabila menggunakan pupuk kimia secara terus menerus akan membuat tanaman menjadi menguning  bahkan mati.
Di sisi lain, stereotip dan stigma petani menggunakan pupuk organik mendapatkan hasil panen dengan waktu yang cenderung lama. Permasalahan ini dikarenakan proses dari penyerapan zat yang ada di dalam pupuk organik cenderung lebih lama daripada pupuk kimia. Namun, penggunaan pupuk organik akan berdampak positif terhadap kualitas dan kesuburan tanah dalam jangka waktu panjang. Apabila menggunakan pupuk organik, rendemen dan kuantitas hasil panen lebih tinggi dibandingkan dengan pupuk kimia. Oleh karena itu, penggunaan pupuk organik lebih efisien untuk para petani karena modal yang dikeluarkan tidak sebanyak modal menggunakan pupuk kimia serta memberikan hasil panen yang lebih berkualitas.
Meskipun begitu, jika dilihat dari fenomena stereotip pemakaian pupuk organik dipengaruhi oleh faktor praktis, yaitu para petani mengutamakan hasil produk daripada proses serta kualitasnya. Hal ini menjadi pertimbangan bagi petani dan juga perlu diluruskan bahwasanya kualitas akan mempengaruhi kuantitas. Serta tanah yang semakin asam nantinya akan mempengaruhi generasi penerus yang mengelola lahan pertanian tersebut.