Nature or Nurture ? begitulah pertanyaan singkat nan menimbulkan berdebatan tentang  apa yang sebenarnya mempengaruhi kepribadian manusia. Nature; warisan biologis ataukah Nurture; pengalaman lingkungan. Dalam sejarah panjang peradaban manusia kontribusi nature dan nurture membentuk keberagaman. Penelitian dalam behavioural genetic mengungkapkan kontribusi dari hereditas (faktor keturunan) dan faktor lingkungan dalam menjelaskan tentang kesamaan dan perbedaan kepribadian pada seorang individu. Kesimpulannya, keduanya berpengaruh.
Berdasarkan perspektif sosiologi, keluarga merupakan kelompok terkecil dalam sebuah komunitas. Selain itu keluarga juga merupakan agen primer dalam proses sosialisasi; proses belajar. Mengapa demikian ? Karena keluarga adalah lingkungan  pertama seorang individu dalam memperoleh pengajaran, terutama bagi seorang anak.
Dalam keluarga, Ibu menempati posisi stategis sebagai agen sosialisasi dalam rangka pembentukan karakter dan kepribadian. Selaras dengan konsep nature and nurture, maka faktor hereditas yang baik dari ibu dan faktor lingkungan yang baik dari keluarga akan membentuk anak anak berkepribadian tangguh nan berakhlaq karimah dalam sebuah komunitas bahkan peradaban. Sehingga memang benar adanya apabila seorang Ibu disebut sebagai mata rantai perabaadan manusia.
Namun, menjadi Ibu hebat untuk mencetak anak anak tangguh serta berakhlaq karimah bukanlah visi sederhana. Melainkan visi jangka panjang yang harus dipersiapkan bahkan sebelum anak itu terlahir ke dunia. Misinya adalah dengan cara menjadi individu baik. Kemudian siklus yang berkemungkinan besar terjadi atas izin Allah adalah dipertemukannya dengan laki-laki baik lalu terciptalah keluarga yang baik dan baru akan berbuah dengan lahirnya anak anak baik nan berakhlaq karimah.
Sebagaimana dikatakan oleh Elly Risman Musa, seorang pakar parenting dan psikolog keluarga beliau menjelaskan bahwa "Menjadi Orang tua itu tidak ada sekolahnnya, maka sekolahkan-lah diri sendiri untuk jadi orang tua terbaik untuk anak anak kelak"
Dari sepenggal kalimat Elly Risman di atas. Menyekolahkan diri sendiri bukanlah dengan cara bersekolah dalam artian bersekolah layaknya sekolahnya seorang calon dokter atau sekolahnya seorang calon  insiyur namun dapat ditafsirkan dengan banyak hal. Secara sederhana, menyekolahkan diri sendiri adalah dengan menanamkan mental pembelajar; mental yang tak pernah bosan belajar. Dengan belajar maka akan menjadikan diri kita sebagai pribadi yang berkualiatas dan pribadi yang berkualitas  merupakan salah satu parameter untuk menjadi calon ibu yang hebat.
Seringkali terjadi kesalahtafsiran dalam memahami waktu belajar yang tepat, guna menjadi seorang ibu terbaik. Kebanyakan orang baru mulai belajar ketika sudah menikah dan berkeluarga lebih parah lagi ketika sudah menjadi seorang ibu. Ini merupakan waktu yang bisa dikatakan tidak tepat bahkan salah. Karena seharusnya pada waktu menjadi seorang Ibu adalah waktu siap terjun bebas. Apabila dianalogikan waktu tersebut adalah waktu perang dan sudah seharusnya orang yang akan perang mempersiapkan senjata senjata dan perlengakapan perang sebelum musuh datang.
Pola pengasuhan secara psikologis, sadar maupun tidak adalah diturunkan. Apa yang kita dapat dari orang tua dahulu secara otomatis akan kita terapkan pada anak anak kelak. Karena pola asuh diturunkan bagaikan mata rantai. Mata rantai pola pengasuhan yang salah hanya akan terputus oleh mata rantai baru yang mampu dengan bijak menggantikannya. Dan lagi lagi itu adalah salah satu dari sekian banyak tugas berat sebagai seorang ibu.
Perlu diketahui juga bahwa mendidik anak adalah menciptakan kenangan dan membangun peradaban. Didiklah anak sebagaimana kita ingin dikenang dan bangunlah peradaban peradaban hebat dimulai dari keluarga melalui tangan tangan ibu terbaik. Ibu adalah mata rantai peradaban baru dan pembaharu mata rantai terdahulu.
Penulis : Adis Hadisah
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H