Inersia. Hukum newton yang pertama ini mungkin menjadi yang paling cocok untuk menggambarkan salah satu lembaga pemerintahan terbesar yang dimiliki republik ini, Dewan Perwakilan Rakyat. Anak teranyarnya yang baru saja pada awal ahad lalu tepatnya Senin 12 Februari 2018 lahir ke dunia perundang-undangan Indonesia, revisi UU No. 17 Tahun 2014 tentang MD3 (MPR, DPR, DPRD, dan DPD), sudah langsung mendapatkan sebuah hantaman keras yang mengancam nyawa dan keberlangsungan hidup "si bayi" DPR.Â
Apapun yang diperbuat oleh DPR, apapun produk yang dihasilkan, pada akhirnya para wakil rakyat yang berdiam di Senayan tidak akan pernah lepas dari segala macam kritik dan sinisme masyarakat. Wajar memang mengingat dari seluruh lembaga pemerintah yang berfungsi di republik ini posisi DPR berada di urutan buncit dalam hal kepercayaan, yaitu sebesar 51% bersanding dengan perusahaan swasta (49%) dan parpol (35%).
Revisi UU MD3 memang penuh kontroversi. Namun, sebelum membahas kontroversi yang berkembang ada baiknya kita mengetahui apa yang sebenarnya direvisi oleh DPR. Ada 14 poin perubahan dalam UU MD3 yang disahkan dalam sidang paripurna tanpa mengikutsertakan PPP dan NasDem yang memilih walk out.Â
Disahkan menjadi kata penting dalam kasus ini yang menandakan Pemerintah (presiden dan jajarannya) telah menyetujui revisi UU MD3 jilid III selama pemerintahan Jokowi-JK. Untuk melihat terlebih dahulu apa saja poin revisi UU yang dianggap hanya untuk kepentingan politik pragmatis ini berikut adalah daftarnya secara singkat sebagaimana disampaikan ketua Baleg DPR, Supratman Andi.
- Penambahan kursi pimpinan MPR (pasal 15), DPR (pasal 84), DPD (pasal 260) dan wakil pimpinan MKD.
- Kewenangan DPR membahas RUU (presiden, DPR, dan DPD)
- Pemanggilan paksa dan penyanderaan
- Penggunaan hak interpelasi, angket, menyatakan pendapat, dan mengajukan pertanyaan
- Reinkarnasi Badan Akuntabilitas Keuangan Negara
- Kewenangan Baleg menyusun RUU dan laporan kinerja
- Perumusan ulang tugas dan fungsi MKD
- Mewajibkan laporan pembahasan APBN
- Pemanggilan paksa terhadap orang yang mangkir dari panggilan panitia angket
- Penguatan hak imunitas dan pengecualiannya
- Penambahan wewenang dan tugas DPD dalam masalah Raperda dan perda
- Pemandirian DPD dalam menyusun anggaran (tambahan mengenai tugas Badan Keahlian Dewan).
- Menambah jumlah pimpinan dan mekanisme pemilihan pimpinan MPR, DPR, dan alat kelengkapan Dewan Pemilu 2014.
- Mekanisme poin 13 setelah tahun 2019.
Spekulasi berkembang di masyarakat, kontroversi muncul, pro-kontra berkumandang di sana sini. Setelah mencari dan menelusuri beberapa sumber berita setidaknya ada empat poin yang menjadi permasalahan dan diangkat menjadi isu strategis. Kemana sisanya? Tidak ada yang peduli ketika itu tidak berdampak signifikan terhadap mereka. Kontroversi muncul dari segi material dan formal.
Secara material, isi pasal revisi membuat banyak ahli dan tentunya masyarakat menepuk jidat. Kita akan lihat satu persatu.
- Pasal 15, 84, dan 260 mengenai penambahan jumlah pimpinan
Apa yang sebenarnya mendasari hal ini? Hal itu mungkin hanya bisa dijawab oleh Tuhan dan mereka yang membuat UU. Namun, masyarakat bebas berspekulasi dan menganalisis. - Politik adalah seni menerjemahkan situasi dan terjemahannya tercermin dalam hasil pemilu 2014. Hingga revisi ke-3 UU MD3, akomodasi partai-partai untuk mendapatkan jabatan di pimpinan DPR, MPD, maupun DPD terus digaungkan. Salah? Tidak! Tujuan partai politik adalah mencari kekuasaan dan itu yang dilakukan dalam revisi UU MD3. Bukan tanpa alasan karena fenomena yang terjadi di parlemen hasil Pileg 2014 adalah hal yang ganjal. Hanya di Indonesia saja terjadi partai pemenang pemilu tidak menempati satu jabatan pun di kursi pimpinan.Â
- Namun, ketika mengingat bahwa itu sudah diakomodasi dalam revisi sebelumnya penambahan jumlah pimpinan menjadi tidak masuk akal, tidak relevan, dan bermotif buta kekuasaan.Â
- Apa yang mungkin mendasari protes rakyat -- meski isu ini tidak terlalu diangkat apa lagi hanya tiga poin terakhir yang diguguat ke Mahkamah Konstitusi dalam jangka waktu dua hari sejak pengesahan UU MD3 -- adalah jumlah uang negara yang akan dikeluarkan lebih untuk menggaji anggota DPR yang kinerjanya diragukan masyarakat.Â
- Siapa yang rela membayar pekerja kasar untuk merancang desain bangunan? Sayangnya isu ini tenggelam dalam superioritas poin lain dan menjadi subordinat karena uang tidak berhubungan langsung dengan masyarakat. Sepertinya masyarakat lebih tertarik pada pembicaraan seksi mengenai kebebasan berbicara dan demokrasi yang tertuang dalam tiga pasal gugatan terdaftar di MK. Mereka lebih tertarik mengkritik daripada protes karena membayar lebih mahal bagi yang terhormat anggota dewan.
- Pasal 73 mengenai pemanggilan paksa
"Dalam hal badan hukum dan/atau warga masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak hadir setelah dipanggil 3 (tiga) kali berturut-turut tanpa alasan yang sah, DPR berhak melakukan panggilan paksa dengan menggunakan Kepolisian Negara Republik Indonesia." Itu adalah tulisan yang tertera dalam UU MD3 pasal 73 ayat (4) di halaman 34 sebelum revisi. Hasil revisi memuat ketentuan yang lebih terperinci dari sebelumnya. Ayat (4) huruf a dan c yang digugat ke MK oleh Forum Kajian Hukum dan Konstitusi. Agar tidak salah tafsir mari kita lihat secara jelas isi pasalnya.Pimpinan DPR mengajukan permintaan secara tertulis kepada Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia paling sedikit memuat dasar dan alasan pemanggilan paksa serta nama dan alamat pejabat negara, pejabat pemerintah, badan hukum dan/atau warga masyarakat yang dipanggil paksa; Kepolisian Negara Republik Indonesia wajib memenuhi permintaan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf a; dan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia memerintahkan Kepala Kepolisian Daerah di tempat domisili pejabat negara, pejabat pemerintah, badan hukum dan/atau warga masyarakat yang dipanggil paksa untuk dihadirkan memenuhi panggilan DPR sebagaimana dimaksud pada ayat 4.
Apa yang keliru? Logika berpikir yang sepertinya telah melupakan Trias Politica. Konsep Trias Politica, baik milik John Locke (legislatif, eksekutif, dan federative) ataupun Montesquieu (legislatif, eksekutif, dan yudikatif), tidak pernah menggabungkan kewenangan menegakkan hukum dengan membuat hukum. Kewenangan memanggil secara paksa hanya melekat dalam kepentingan penyidikan dan itu adalah ranah penegak hukum: polisi, jaksa, dan KPK. Jika DPR ingin melakukan pemanggilan paksa sepertinya harus ada syarat baru bahwa anggota DPR harus menamatkan akademi polisi. Tidak mungkin anggota DPR adalah orang yang sebegitu luar biasanya hingga dapat melakukan segala sesuatu. DPR tidak memiliki fungsi penyidik, mereka hanya memiliki fungsi legislasi, anggaran dan pengawasan yang dengan jelas disebutkan dalam UUD NRI 1945 pasal 20A ayat (1).
Hal empiris yang tidak kalah janggalnya terlihat ketika kita menengok bahwa DPR pernah menolak seseorang untuk hadir dalam rapat DPR. Itu terjadi pada kasus Angket Pelindo II, dimana DPR menolak Menteri Rini Sumarno. Bagi saya pribadi ini aneh. Seseorang memiliki kekuasaan begitu besar untuk menolak dan memaksa. Power yang begitu besar dan ya, kekuasaan cenderung korup.
- Pasal 122 mengenai pemidanaan orang yang merendahkan DPR (pribadi dan organisasi)
- Khusus untuk pasal 122 huruf (k), inkonsistensi DPR dalam masalah penghinaan dan perendahan tercermin jelas. Manusia memang sudah memiliki tabiat untuk melihat semut di seberang lautan dan luput melihat gajah di depan matanya sendiri. Tidak ingin dikritik, tetapi ingin mengkritik. MK dengan jelas membatalkan pasal penghinaan kepada Presiden dan Wakil Presiden lewat putusan MK Nomor 013-022/PUU-IV/2016. Hal ini juga dikritik oleh banyak ahli dan pengamat politik termasuk Ray Rangkuti. "Pemikirannya melompat," dikutip dari wawancaranya dengan Kompas. Setiap orang memiliki kepentingan dan mungkin ini adalah kepentingan DPR untuk melindungi diri dari kritik keras yang telah menjamur karena stigma masyarakat akan buruknya lembaga yang mewakili mereka. Jika ingin dihargai, hargailah orang lain. DPR? Demokrasi akan mengalami kemunduran jika DPR juga ikut-ikutan antikritik seperti yang mereka tuduhkan kepada Pemerintah. Tentunya saya tidak menggeneralisasi seluruh anggota DPR. Ada hal aneh lagi di sini. Untuk pertama kalinya, mungkin, suatu pengadilan etik bisa menjadi pengadilan pidana. Itu akan terjadi di MKD hasil revisi UU MD3.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
- Khusus untuk pasal 122 huruf (k), inkonsistensi DPR dalam masalah penghinaan dan perendahan tercermin jelas. Manusia memang sudah memiliki tabiat untuk melihat semut di seberang lautan dan luput melihat gajah di depan matanya sendiri. Tidak ingin dikritik, tetapi ingin mengkritik. MK dengan jelas membatalkan pasal penghinaan kepada Presiden dan Wakil Presiden lewat putusan MK Nomor 013-022/PUU-IV/2016. Hal ini juga dikritik oleh banyak ahli dan pengamat politik termasuk Ray Rangkuti. "Pemikirannya melompat," dikutip dari wawancaranya dengan Kompas. Setiap orang memiliki kepentingan dan mungkin ini adalah kepentingan DPR untuk melindungi diri dari kritik keras yang telah menjamur karena stigma masyarakat akan buruknya lembaga yang mewakili mereka. Jika ingin dihargai, hargailah orang lain. DPR? Demokrasi akan mengalami kemunduran jika DPR juga ikut-ikutan antikritik seperti yang mereka tuduhkan kepada Pemerintah. Tentunya saya tidak menggeneralisasi seluruh anggota DPR. Ada hal aneh lagi di sini. Untuk pertama kalinya, mungkin, suatu pengadilan etik bisa menjadi pengadilan pidana. Itu akan terjadi di MKD hasil revisi UU MD3.