[caption id="attachment_259774" align="alignnone" width="199" caption="Semburat kelelahan menyelimuti wajahnya yang tetap tabah"][/caption] Semburat sang rembulan memudar diantara kabut sang malam sang batang hanya diam tanpa bayu berhembus walau perlahan ada pekikan kalut si pertapa melihat hanya secuil dari bangsa berjalan dalam kegelapan sang mentari diujung istana sang raja situa pekak hanya tersenyum menjajakan sisa jualannya aku diam bukan tak mampu aku diam bukan tak ada rasa karena aku juga bagian dari yang papa bagaimana dengan sang raja apakah juga diam karena papa atau juga diam karena tak punya rasa. Sore ini aku duduk kelelahan dijendela istana ini, istana sang raja minang kata mereka yang mengenalnya. Diatas tampak banyak manusia berlalu lalang berdecak kagum akan kemegahan cerita lama tentang sang istana. Penjajapun mencoba mencari sedikit hidup diantara para pengunjung yang bergerak menikmati sigonjong ini. Tersirat rasa bahagia diwajah tua sinenek itu, selalu tersenyum menjajakan dagangannnya. Serangkai rambutan digenggam lalu mencoba berjualan mengelilingi sang pengagum. Wajah keriput dengan topi loreng dikepalanya, baju putih kusam bekas berlambang osis dan sarung batik kusam membalut bagian bawah tubuhnya. Tanpa sandal dia berjalan menjinjing tas kain putih untuk berkeliling didepan istana sang raja. Lalu kemana sang raja ? apakah hanya diam melihat rakyatnya yang papa. Oh… hamba lupa istana ini tak ada rajanya lagi, hanya tinggal simbol keagungan dari sebuah suku besar ditanah ini. Sebuah bentuk kehidupan manusia disekitar nagari beradat ini sedikit menyedihkan dimata ku. Urang awak kata mereka yang merasa berdarah minang menyebut dirinya, diperantauan mereka sangat bangga akan sebutan ini hingga terjalin erat kekeluargaan antara masyarakat minang dirantau. Di minang sendiri carut marut kehidupan menjadikan adat dinomor duakan setelah perut. Keagungan sebuah tata kerama telah berangsur hilang. Para remaja minagpun mulai tidak mengeri apa itu minang, minang terasa hanya simbol kebanggaan bagi banyak manusia dinagari ini tanpa mau berpikir untuk ikut menjaganya. Tak pernah lagi kita bisa melihat seorang tua dengan pakaian khas minang, tak pernah lagi kita melihat sang datuk berpakaian kebesaran berjalan melewati nagarinya. Sang datuk entah dimana sedangkan dinagari bagaikan tak ada tiang penyangga adat lagi. Kita hampir tak mengetahui lagi bagaimana berpantun, urutan suku atau nama datuk dikampung sendiri. Kita lebih akrap dengan RT dan RW. Atau melihat siswa SMP ber HP berbicara lantang tentang teknologi dengan selipan rokok ditangannya. Nagari ini dahulunya dipenuhi orang-orang berpendidikan dan mengerti adat, adat membuat mereka besar dan menghargai tatakrama didalam kaumnya. Semua aturan tersebut dibawa hingga kenegeri orang diseberang lautan dan menjadi panutan bagi mereka yang mengaguminya. Tersebutlah nama besar Bung Hatta yang terlahir dan besar dengan tatakrama yang apik dari masyarakat kampung yang disebut Bukittinggi. Lambat laun semua ciri khas nagari ini hilang dalam kehidupan modern masyarakatnya, jangan salahkan bila suatu saat penerus negeri ini tidak akan pernah lagi melihat datuk berpakaian kebesarannya. Modern sepertinya bukan suatu alasan bagi kita untuk menghilangkan nilai-nilai adat diantara sendi-sendi kehidupan masyarakat ini. Jepang dengan tingkat pemikiran diakui didunia tidak pernah meningggalkan tradisi minum tehnya, bali dengan keindahan alamnya yang tidak pernah sepi dari turis juga tidak pernah membiarkan hari raya nyepinya tidak diperhatikan para pengunjung. Bagaimana dengan kita yang beradat dan berpegang teguh pada agama dan selalu berceloteh tentang kebesaran sang raja. Hamka juga secuil nama kecil di bangsa ini malah lebih dihargai dinegara tetangga, sebuah museum kelahiran ditepi danau maninjau menjadi bukti bahwa hanya sedikit masyarakat kita yang mau menyenguk sedikit arti kebangsaan yang ada di rumah kelahiran ini. Dibuku tamu pun hanya tersirat sebagian kecil kita yang ingin singgah disana untuk sekedar mengetahui perjuangan sang Hamka untuk nagari ini. Ada sedikit panggilan lirih dari tempat yang dahulu melahirkan seorang ilmuwan untuk bangsa ini, sekarang hanya sebuah tempat yang minim perhatian. Sekarang hanya ada 32 judul buku karangan hamka disini dari 118 judul yang seharusnya berada di museum ini. Hamka yang dikenal baik dinegeri tetangga Malaysia memberikan andil besar untuk kehidupan keilmuan dinegeri ini. Sebagian besar Museum Rumah Kelahiran Buya Hamka ini adalah bantuan dari Angkatan Belia Islam Malaysia (ABIM) Sempena, Dt. Al Hakim dan Pemerintah Sumbar. Beliau ternyata bukan saja seorang sastrawan, semasa hidupnya (17 Feb 1908 sampai 24 Jui 1981) beliau juga dikenal sebagai politikus, pujangga, sejarawan, dan seorang yang lantang meneriakkan tentang aqidah islam, walaupun hanya berpendidikan sampai kelas 7 thawalib. Hidup memang penghargaan yang sangat berharga apabila kita mampu memilah kelakuan dan identitas kita dalam menjalaninya. [kiwi, suatu hari di Pagaruyung]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H