Mohon tunggu...
kitri widaretna
kitri widaretna Mohon Tunggu... profesional -

Kinanti dening Gusti rinten ndalu

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Langgam Kepemimpinan Jokowi

19 Februari 2015   01:01 Diperbarui: 17 Juni 2015   10:55 169
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Ditulis di Tapaktuan, Aceh Selatan

Mungkin kita sedikit tertegun dan mengernyitkan dahi membaca berita lansiran Kompas.com 15 Februari 2015 tentang “Pindah ke Istana Bogor, Jokowi Jauhi Teuku Umar?” yang diawali dengan ulas-bahas Hendri Satrio, Dosen Komunikasi Politik, Universitas Paramadina (berita selengkapnya silahkan baca disini). Sepertinya, Hendri Satrio menganalisa secara socio-cultural dan sangat memahami gerak-gerik politik Wong Jowo-nya Jokowi yang notabene Jawa Solo ndeles. Tidak banyak orang bisa memahami makna tersirat dibelakang langkah kebijakan Jokowi yang terkesan leletleda-lede (lambat) dan ndi lor ndi kidul (tidak jelas arahnya). Hal ini terungkap dengan banyaknya tulisan kekecewaan publik di media cetak dan elektronik juga pada diskusi-diskusi formal sampai obrolan di kedai kopi. Berbeda dengan Mantan Presiden Soeharto misalnya, walau beliau berasal dari Jawa Tengah (lahir di Kemusuk, Bantul, Yogyakarta), tetapi dunia militer membuat beliau berbeda pula cara kepemimpinannya, tegas, strategis dan sistematis. Lain lagi dengan Mantan Presiden Soekarno yang berasal dari Jawa Timur. Beliau lebih terbuka, seperti layaknya orang Jawa Timuran yang ramah, friendly dan apa adanya.

Ulas-bahas Hendri Satrio bukan semata-mata analisa otak-atik-gathuk (otak-atik atau diolah, dan cocok karena kebetulan) namun dalam Budaya Jawa ada yang disebut ‘Pasemon’ yang bisa diwujudkan melalui kata-kata atau perilaku atau gerak-gerik.  Segala sesuatu tidak perlu disampaikan, diucapkan atau diungkapkan secara langsung dan gamblang, walaupun begitu bisa diketahui dan dibaca maksud dan arah tujuannya. Seniman Sujiwo Tejo, juga pernah menganalisa pasemon SBY- Anas yang ditulis di Kompas.com 29 Juli 2011 (baca ulang disini)

Contoh sederhana pasemon biasa ditemukan seperti mendehem untuk memberikan suatu tanda atau peringatan, misalnya seorang guru melihat muridnya mencontek. Tidak perlu tunjuk hidung siapa murid yang mencontek, peringatan dengan mendehem sudah cukup. Ketika para orang tua di Jawa mulai melipat kedua tangan kebelakang, kita harus berhati-hati karena merupakan warning memasuki tingkat komunikasi berbahaya. Atau ketika  kita sedang bertamu, dan tuan rumah menyampaikan perihal waktu misalnya, "Wah tidak terasa sudah Magrib ya" itu artinya bahwa kita harus segera pamit.

Kembali ke langgam kepemimpinan Jokowi yang memang medhok (kental) Wong Jowo. Pasemon pindahan Jokowi ke Istana Bogor yang menjadi tanda-tanya banyak kalangan, mungkin analisa Hendri Satrio paling tepat. Sifat dan sikap politik Jokowi benar-benar kental njawani, ingin ngemong semua pihak, ingin menjaga harmoni, sulit mengatakan ‘tidak’ atau menolak, menjunjung senioritas, bersikap selalu ingin membantu, dan mengalah atau nerimo, hal ini ditunjukkan dengan ungkapan beliau yang akhirnya menjadi trending ‘Ora Opo-opo’, tidak masalah.

Sebenarnya sikap-sikap seperti itu sangat baik, namun dapat pula menimbulkan kesulitan. Bukan hanya kesulitan pribadi sebagai presiden namun juga kesulitan pada jalannya pemerintahan. Mengapa? Karena kadang sikap yang njawani (tidak hanya Jokowi, tetapi juga saya dan mungkin anda juga?) sangat-sangat tidak menguntungkan manakala kita harus bersikap tegas dalam mengambil keputusan, berani mengatakan ‘tidak’ dan menolak permintaan walaupun itu dari senior atau pimpinan kita sekalipun, ketika dirasa tidak benar. Kunci kebijakan pengambilan keputusan tegas sebenarnya terletak pada pertimbangan: meminimalkan "korban" dan memperbanyak orang yang bisa menerima manfaatnya. Tentu saja harus tegas-tegas kita tolak ketika korban ternyata lebih banyak dari para penerima manfaat. Kepentingan rakyat lebih diutamakan dari kepentingan golongan. Karena itu, Jokowi perlu mempunyai penasehat presiden yang tegas, handal, pintar, jeli dan berpihak pada rakyat.  Jangan pernah percaya kepada pembisik macam Patih Sengkuni dalam pewayangan, jika ada.

Jaya jayaning negriku. Tulisan ini sebagai kado ulang tahun Adeging Kutha Solo ke 270 pada 17 Februari 2015.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun