Mohon tunggu...
Putri Kitnas Inesia
Putri Kitnas Inesia Mohon Tunggu... lainnya -

A humanitarian worker who travel.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Islam Sejati di Bulan Puasa Bukan FPI

17 Agustus 2012   19:18 Diperbarui: 25 Juni 2015   01:36 167
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tik... kriuk... tok... kriuk... tik... kriuk...
tok... Bunyi detak jarum
jam di angka 12.30 berlomba-lomba
dengan bunyi perut saya yang
keroncongan
sedari pagi. Hari ini saya terlambat bangun, alamat tidak sempat sarapan
dan mandi super ekspres agar tidak
terlambat sampai di tempat magang
yang
belum tiga bulan saya tempati. Meski
bukan beragama Muslim, otomatis saya ikut berpuasa akibat tidak disiplin dan
molor waktu tidur. “Tidak sempat
sarapan mak, dibekal saja,” ujar saya
sebelum berangkat ke kantor pagi tadi
meminta Mamak tercinta
menyimpannya dalam kotak bekal. Sejam kemudian, bunyi kriuk-kriuk
semakin kencang. Kriuuuk.. kriuuuk...
kriuuuk... Lapar sekali. Namun tangan
saya enggan mengambil bekal yang
tersimpan di tas. Pasalnya, di kantor ini
hanya saya yang beragama non-muslim. Saya tengok ke kiri, Pak
Miqdad pimpinan paling tinggi di
organisasi saya magang sedang serius
membalasi email. Tiga rekan lain yang
berada di balik sekat persis di seberang
saya sedang sibuk mengerjakan tugas masing-masing. Sebenarnya saya bisa saja “berbuka” di
lantai bawah, tapi hari itu
bertepatan ada beberapa tamu kantor
yang sedang memenuhi ruangan
bawah,
sementara warung dekat kantor dipastikan tutup. Positif tidak ada ruang
sedikit tertutup untuk saya mengisi
perut. Ah, malu rasanya kalau saya ijin
buka bekal, tidak enak dengan rekan-
rekan di kantor yang semuanya sedang
berpuasa. “Ayo, tahan sedikit lagi. Tunjukkan toleransimu,” pikir saya
menyemangati dan kembali menahan
diri. Kriiuuuukkk...kriiuuukkkk...kriiiuuuukk..
suara perut makin besar. Tahan
punya tahan tak terasa sudah pukul
15.30. Keringat dingin mulai
membasahi
kening, tangan dan punggung. Pandangan saya mulai berkunang-
kunang, mual,
dan tak lagi berkonsentrasi
mengerjakan tugas di komputer. Oalah,
yang saya
takuti akhirnya terjadi. Maag saya kambuh. Pak bos melirik saya dan mulai
melihat keganjilan. “Kamu, nggak makan siang, Put? Sudah
jam setengah 4 ini,” tanyanya. “Eh, belum Pak. Nanti,” jawab saya sok
tenang. “Lho, nanti maag lagi,” tambahnya
khawatir. Saya mulai goyah dan desakan perut
yang maag akhirnya mendorong saya
bertanya. “Saya boleh ijin makan, Pak?” tanya
saya sungkan. “Kenapa tidak boleh? Makan, ya makan
saja. Minum ya minum silakan. Kami ini
sudah biasa puasa jadi tidak
terpengaruh kalau ada orang makan
atau minum.
Justru semakin banyak dapat ujian pahala kami makin banyak,” bos saya
menerangkan sambil setengah tertawa. Aha, lampu hijau dari Pak bos untuk
saya makan siang. Bahkan dia juga
berujar tidak ada prasangka buruk
darinya jika saya makan atau minum
karena
memang saya tidak berpuasa dan jangan ikut-ikutan puasa kalau tidak
ada
niatan katanya. “Terima kasih ya Pak,” saya sumringah
sekali mendengarnya dan segera
mengambil bekal untuk turun ke
bawah. Di bawah tamu-tamu kantor sedang
berada di ruangan, saya pun dengan
kilat
menyantap bekal di ruang depan. Usai
makan, tenaga dan konsentrasi saya
kembali namun masih disertai mual. Sesaat sebelum pulang rekan-rekan
kantor dan Pak Bos malah memaksa
saya
makan lagi masakan buatan istrinya
yang sudah disiapkan di kantor untuk
berbuka. Padahal waktu itu belum jam berbuka, tapi dalihnya agar saya
mencicipi garamnya sudah pas atau
belum maka saya “dipaksa” mencicip
masakan istri Pak Bos yang harumnya
bukan main. Terpaksa deh akhirnya saya
menghabiskan sepiring mie yang ternyata maknyus bukan kepalang.
Hehehe... Dalam perjalanan pulang dari kantor
saya berefleksi. Indah sekali apa yang
dilakukan Pak Bos dan rekan-rekan
kantor saya hari ini. Setiap
perkataannya
menyejukkan dan justru Beliau yang memulai dan menunjukkan toleransi
berlebih terhadap saya. Padahal, selain
karena saya anak baru sehingga rasa
sungkan masih tinggi, saya takut sekali
dianggap tidak toleran dan tidak
menghormati teman-teman Muslim yang sedang berpuasa. Saya menyesal
mengapa
justru saya demikian sempit, ya? Lagi asyik-asyiknya merenung, angkot
yang saya naiki berhenti di depan
kantor Walikota Depok yang memasang
spanduk besar FPI bertuliskan demikian:
“Hormatilah kami yang sedang
berpuasa dengan tidak makan dan minum
sembarangan serta berjualan /
membuka warung di siang hari. -FPI-”
Oalaaah... ini dia yang secara tidak sadar
sudah membentuk opini saya
belakangan ini. Setiap hari pulang pergi kantor saya selalu melihat spanduk
ini. Lalu melalui berita di koran-koran
dan internet saya juga membaca FPI
menggrebek warung yang berjualan di
siang hari dengan dikawal oleh polisi
yang tidak bisa berbuat apa-apa. Mending kalau hanya menggerebek,
bahkan
sampai mengobrak-abrik dengan
memukul meja, menendang dinding,
membanting
kursi, dan melakukan perlawanan dengan para penjual yang rata-rata
warung
kecil di pinggir-pinggir jalan. “Kami datang mengimbau, tapi mereka
melawan, jadi kami tidak segan-segan
melakukan kekerasan kalau mereka
tetap ngotot mau membuka warungnya
selama
bulan puasa maka kami akan membakarnya,” pungkas salah seorang
FPI Makassar
dengan megaphone di atas mobil pick-
upnya. Meski saya bukan beragama Muslim,
namun saya merasakan kedukaan dari
umat
Muslim seperti bos dan rekan-rekan
kantor saya. Mereka yang sudah
berjuang menunjukkan nilai-nilai Islam sejati
melalui amal, toleransi, kerukunan,
dan perbuatan baik di bulan suci ini,
namun sekelompok orang (yang
mengaku
beragama) Islam mencorengnya dengan dalih penghormatan akan mereka yang
berpuasa malah melakukan kekerasan
dan anarkisme. Batal gak sih puasa
mereka? Sayangnya, secara tidak
disadari, efek masif dari tingkah FPI
tersebut tanpa disadari berpotensi membentuk persepsi bahwa umat
Muslim
intoleran dengan siapapun yang terlihat
makan dan minum di bulan puasa
tanpa peduli apapun alasannya. Malam itu juga segera saya matikan
persepsi salah yang saya dapat dari FPI
tentang umat Islam yang berpuasa.
Saya tutupi dengan hal-hal positif yang
nyatanya banyak sekali saudara-saudari
Muslim saya lakukan di bulan penuh berkah ini. Baik dari bos saya, rekan
kantor, penumpang yang memberikan
saya duduk, supir yang memberikan air
dan permen untuk teman saya berbuka,
dan bahkan dari supir Taxiku bernama
Jafar Thalib yang kemarin malam mengembalikan laptop kakak saya yang
tertinggal di taksinya. Beliau baru
sadar laptop kakak saya tertinggal di
taksinya setelah mengantarkan
penumpang ke Bekasi dan segera
tancap balik ke Depok untuk mengembalikan
laptop tersebut. Saya terharu. Inilah
makna Ramadhan yang sebenarnya dari
para Muslim sejati.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun