Keesokan harinya kesibukan tampak terasa di lokasi proyek, selain tim manajemen joint operation, ke dua belas orang Supervisor gabungan dari masing-masing pihak juga udah hadir. Mereka semua sedang melakukan briefing dilapangan.
Enggak hanya itu, ke seratus enam puluh orang kuli dengan empat orang mandornya pun juga udah hadir. Mereka juga sedang mendapat arahan dari Romli dan Elung, tentang lokasi pendirian Direksi Kit dan gudang berada.
Setelah itu bersama-sama dengan Ryo dan Yudananto, keempat orang mandor itu berkeliling areal pabrik, untuk menunjukan titik-titik dimana pondasi turab akan didirikan nantinya sesuai dengan gambar kerja yang mereka bawa.
Sementara Yusuf dan Rozi sedang mengecek material berupa triplek, kayu, asbes, seng, sampai besi-besi rangka untuk pembuatan pondasi Direksi Kit dan Gudang nantinya yang udah berdatangan bersama Beny dan Demit. Saat itu juga mereka sedang menunggu kedatangan alat-alat berat yang rencananya akan datang siang ini. Alat-alat berat tadi itu memang didatangkan untuk bertugas merubuhkan bangunan pabrik, gudang, bengkel serta tembok keliling pabrik yang memang akan diratakan untuk dibuat yang baru.
Mereka pun enggak membuang waktu, para tenaga kasar alias kuli tadi segera bekerja membuat Direksi Kit dan Gudang. Kalo menurut gambar kerja sih Direksi Kit nantinya akan berlantai dua dengan luas bangunannya sekitar tiga ratus meteran persegi, sementara bangunan Gudangnya berukuran sekitar lima ratusan meter persegi dan enggak tingkat.
Udah gitu enggak ketinggalan rumah-rumah bedeng dan MCK darurat buat tempat tinggal para kuli itu juga ikutan dibangun. Dikarenakan semua kuli itu bukan berasal dari daerah setempat, makanya mereka perlu tempat buat berteduh dan tidur malem juga kan.
Cuma ada sedikit masalah buat Dani dan Ryo, setelah dipikir-pikir dan ditimbang-timbang bangunan gedung administrasi pabrik gula yang bergaya art deco asli Belanda itu keliatan sayang banget kalo ikut-ikut dirubuhkan. Soalnya kalo dipermak dikit macam direnov lantainya, dicat lagi dindingnya dan diperbaiki segala macamnya yang rusak, dijamin gedung ini akan terlihat eksotis banget.
Walaupun sekarang ini isinya lelembut dan dedemit semua, tapi kalo semuanya udah dibersihkan gedung itu masih bisa dipakai kok buat tempat berkantor para karyawan pabrik tepung tapioka nanti. Jadi keren kan pabriknya dimana bangunan bergaya minimalis masa kini bersanding dengan gaya art deco jaman dulu.
Selain itu, tentunya mereka sekaligus juga melindungi bangunan bersejarah kan? Sebagai bukti peninggalan penjajah kolonial di Indonesia.
Makanya mereka niat banget buat ngusulin ide mereka itu ke pihak konsultan proyek, yang nantinya harus mendapat persetujuan dari owner dulu. Tapi ternyata jalan mereka enggak mulus-mulus amat kok. Rozi begitu tau rencana anak-anak tadi langsung aja deh menentang keras. Katanya sih…
“Enak aja, kalo itu disetujuin berarti kan pembangunan gedung administrasi pabrik yang baru kan enggak jadi. Lha, kalo begitu kan anggarannya pasti dipotong.”
Tapi Dani sama Ryo yang didukung seluruh tim dari pihak Indo Karya enggak menyerah dong. Kebukti saat siang itu tim dari konsultan proyek datang ke lokasi, anak-anak segera memberitahukan ide dan rencana itu ke Pak Suharjono.
Keliatan banget sehabis itu Pak Suharjononya diam membisu, seperti menimbang-nimbang beberapa lama.
“Gimana Pak? usul kita bisa diterima nggak?”
“Iya, sayang banget kan Pak, bangunan ini punya nilai sejarah yang tinggi. Tentunya akan berguna sebagai saksi untuk anak-cucu kita nanti.”
Desak anak-anak lagi.
“Sebentaaaar saya telpon dulu ya.”
Pak Suharjono lalu menjauh dan langsung menelpon seseorang.
“Halo, Pak Karel, anu itu anak-anak minta supaya site plan dirubah bagaimana ya Pak?”
“Berubah? Anak-anak yang mana ya Pak?”
“Itu lho anak-anak Indo Karya.”
“Wah, si Tokek-tokek rebus itu mau merubah apaan Pak Jono?”
“Anu, mereka minta gedung administrasinya jangan dirobohkan. Sayang katanya karena arsitekturnya bagus dan gedung itu penuh dengan nilai sejarah.”
Diseberang sana Pak Karel langsung kaget.
“Waduh, berarti gedung administrasi yang baru enggak jadi dibangun gitu?”
“Betul Pak.”
“Waaaaaaduh. Gawat Pak Jono kalo begitu sih. tapi menurut Pak Jono sendiri bagaimana?”
“Saya sih agak-agak setuju juga. Tapi gimana ya?”
“Nah itu Pak. Itu masalah yang genting nya.”
“Berkurang ya punya saya?”
“Ya iya dong Pak, berkurang lumayan nantinya.”
“Berapa Pak Karel?”
“Kira-kira bisa dua sampai tiga kaca mata Pak.”
“Waaaaah, edan tenan.”
“Makanya Pak Jono jangan setuju. Kalo WC nya aja yang dilestarikan sih enggak apa-apa.”
Pak Suharjono manggut-manggut. Lalu segera menemui anak-anak yang lagi harap-harap cemas begitu.
“Gimana Pak? Bapak setuju kan?”
Pak Suharjono mengeleng keras.
“Enggak, saya enggak setuju, kalo septik tank nya aja yang enggak diuruk saya setuju Mas-mas semua.”
Kontan aja anak-anak semua langsung kecewa berat.
Tapi anak-anak enggak menyerah tanpa syarat begitu aja, hari itu juga mereka berinisiatif menulis surat ke Pemerintah Daerah Kabupaten Malang, dan juga tembusannya mulai dari ke Kementrian Kebudayaan sampai ke Propinsi, Kecamatan, Desa hingga Rt/Rw disana juga lho.
Entah hasilnya kayak apa nanti, yang penting mereka semua udah berusaha untuk melestarikan bangunan yang harusnya sih termasuk cagar budaya itu.
~~~~~~~~~~~~~~~
Untuk sementara sambil menunggu pembangunan Direksi Kit nya selesai, Tim manajemen berkantor disebuah warung kopi yang berada persis diseberang lokasi pabrik tadi. Warung itu lumayan lengkap kok, selain ada macam-macam minuman dan kemilan, ada juga macem-macem menu makanan rumahan juga. Nah yang terakhir itu request dari para kuli yang merasa keberatan sekali harus jalan kaki sekitar dua kilo meter kedepan buat nyari makanan di sebuah warteg.
Selain itu, tim manajemen juga menyewa empat rumah yang berada persis disamping kanan dari warung kopi tadi buat dijadiin mess buat mereka semua, para supervisor dan staffnantinya.
Untungnya aja Bu Yati, pemilik Warung Kopi Barokah itu berbaik hati mengizinkan tim manajemen untuk berkantor sementara disana. Makanya jangan heran kalo diantara deretan lauk-pauk dan sayur di atas meja juga bergelimpangan berbagai macam perkakas kantor macam Laptop, Printer sampe bertumpuk-tumpuk kertas. Untungnya aja ruangan warung itu udah keliatan sesak duluan, kalo enggak, bisa dipastikan disana bakalan keliatan satu meja gambar juga hasil request nya Ryo.
Mereka semua betah soalnya Bu Yati ini juga punya dua orang anak cewek yang bernama Neni dan Ida yang waaoooo gitu, alias cantik, berkulit putih, berambut panjang, berbody eheem, yang entah kenapa semenjak anak-anak berkantor disana jadi sering rajin ikut bantu-bantu di warung.
Nah untuk urusan yang kayak begini ini si Yudananto paling jagonya. Sedari tadi juga dia itu terus ngeluarin jurus ngerayunya. Macam…
“Eh temen-temen, kalo diperhatiin senyumnya Neni sama Ida manis betul ya? bibirnya juga merah banget begitu? kayak pinggiran koreng.”
Udah pasti dong, yang ada Neni sama Ida nya jadi sebel bukan main.
Oya, selain Neni dan Ida, Bu Yati ini juga punya satu anak cowok bernama Danang, yang berbadan lumayan gede dan ikut dikaryakan juga oleh tim manajemen sebagai satpam di proyek itu. Soalnya dia ini mantan security di sebuah mall di kota Malang sana, jadi cocok kan?
Dibantu enam orang penduduk sekitar, jadi deh Danang itu pionir satpam-satpam proyek disana yang berjibaku buat mengamankan jalannya proyek dari setiap gangguan. Soalnya semenjak kabar mulainya pembangunan pabrik disana berhembus kencang hampir ke seantero wilayah Kabupaten Malang dan sekitarnya, banyak banget tamu-tamu yang terus berdatangan ke lokasi. Mulai dari suplier yang nawar-nawarin barang dagangannya, utusan-utusan dari perusahaan kontraktor-kontraktor kelas kecil yang berharap dapat berkah buat ikutan berkecimpung ngebangun pabrik, Oknum-oknum aparat pemerintahan setempat yang coba minta-minta jatah, warga-warga setempat yang coba ngelamar kerja, sampai para preman juga ada kok.
Sedari tadi Beny sama Demit keliatan banget paling sibuknya, enggak berenti-berentinya tamu para suplier yang dateng buat nawarin segalam macam kebutuhan proyek. Dikarenakan progres pertama adalah pematangan lahan dan pembuatan turab disekeliling lokasi, enggak heran kalo para suplier itu berlomba-lomba menawarkan pengadaan batu kali, semen hingga pasir dengan harga-harga yang kompetitif dan saling bersaing.
Namanya juga bersaing biar menang, enggak heran kalo para suplier tadi diam-diam juga berlomba-lomba tebel-tebelan ngasih ‘amplop’ ke Beny sama Demitnya, dengan harapan supaya perusahaan merekalah yang menang dan ditunjuk buat pengadaan barang-barangnya.
Demit yang baru pertama kali nerima ‘amplop’ gelap dalam jumlah banyak begitu jadi ketakutan sendiri. Bukannya apa-apa, kalo mereka udah ngasih duit begitu terus enggak kepilih buat jadi suplier gimana tuh? apa enggak dikejar-kejar dia nantinya buat dimintain pertanggung jawaban?
Makanya setiap ada utusan suplier yang ngasih ‘amplop’ gelap, pasti deh Demit selalu nolak. Abis dia emang nggak berani sih. Tapi anehnya justru kelakuannya itu ngebuat si Beny jadi sewot.
“Eh Mit, kenapa ditolak begitu sih? itu kan rejeki.”
Demit nyengir doang.
“Waduh, gue enggak berani Ben.”
“Halah, udah terima aja dulu kenapa sih, urusan berantem nanti mah belakangan aja.”
“Emang elo yakin bisa ngatasin Ben?”
“Tenang ajaaaa.”
“Tapi kalo ketauan yang lain kan enggak enak gue Ben?”
“Halaaah, dienak-enakin aja kenapa sih. udah deh terima aja amplopnya. Gue yang tanggung jawab.”
Akhirnya Demit mau enggak mau jadi ikutan nerima ‘amplop-amplop’ gelap tadi.
Dan selepas waktu Ashar, mereka berdua pun melaporkan hasil dari pendataan para suplier tadi ke Mojo selaku atasan dan sekalian juga bagi-bagi hasil.
“Ada berapa suplier yang masuk Ben?”
“Tiga puluh tujuh, Jo.”
“Maksud gue amplopnya.”
Beny nyengir ditodong kayak begitu.
“Cuma tiga puluh satu.”
“Bohong? Elo kentit ya?”
“Enggak! enak aja, nih itung aja sendiri amplopnya.”
“Beneran tuh Mit?”
“Iya bener Jo.”
Demit menggangguk-anggukan kepalanya.
“Yang enam suplier fakir miskin tadi dicoret aja, masa pengen menang enggak ada pelicinnya.”
Beny sama Demit dengan sigap mengeluarkan enam berkas suplier yang enggak ngasih amplop tadi dari tumpukan berkas diatas meja.
“Mana amplop-amplopnya?”
Dengan sigap Beny menyerahkan setumpuk amplop ke Wijatmojo. Enggak lama kemudian mereka udah bareng-bareng menghitung isi amplop-amplop tadi.
Enggak disangka ternyata hasilnya banyak juga lho. Amplop yang isinya dua ratus ribuan aja ada dua puluh dua biji, yang isinya tiga ratus ribuan ada empat biji, yang lima ratus ribuan ada empat biji juga, sementara yang sebiji lagi isinya satu juta rupiah.
Kebayangkan dalam sehari aja duit delapan juta enam ratus ribu ada ditangan tanpa harus memeras keringat. Enak kan? Wong rata-rata kebanyakan orang diluar sana aja gaji sebulannya jarang-jarang ada yang nyentuh angka segitu.
“Eh anu Pak Mojo, terus bagaimana dong buat nentuin suplier yang menang? Gimana caranya kalo amplopnya udah kita terima semua begini?”
Demit jadi bingung sendiri.
“Elo tuh ya Mit, kalo jadi orang jangan lurus-lurus banget kenapa? Belok dikit kek. Gampang, sekarang total volume turabnya berapa?”
“Hampir sembilan ribu kibik.”
“Nah, tinggal dibagi aja ke tiga puluh satu suplier itu, yang amplopnya lebih gede dapet volume suplai batu kali, semen dan pasir lebih banyak. Gitu aja kok repot sih, kalo hal begini mah nanti gue yang atur.”
Demit nyengir doang.
“Emang bisa ya Pak?”
“Waah, elo jangan ngeremehin kemampuan gue dong. Pokoknya tenaang aja, besok elo liat aja gimana cara gue sama Beny menghandle itu semua.”
Demit makin lebar nyengirnya.
Langsung aja deh saat itu juga Mojo melakukan pembagian harta gono-gini itu dan dengan teganya hanya menyerahkan enam ratus ribu rupiah buat bagiannya Beny sama Demit.
“Lha, kok Cuma segini sih Jo? Ini sih apanya yang mau dibagi?”
Beny protes berat dong.
“Aduh Ben, gue kan cuma genapin aja biar pas delapan juta gitu. gue kan juga musti nyetor ke Oji sama Dani Ben. Masa pimpinan nggak dikasih sih? Lagian enam ratus ribu juga udah banyak kan? Tadinya gue pikir buat elo berdua empat ratus ribu juga udah kebanyakan deh.”
Beny mau protes lagi tapi sayang, Mojo udah kabur duluan dari sana.
“Huh, si Mojo itu ternyata bener-bener belum berubah juga kelakuannya!”
Beny geram betul.
“Udaah Ben, tenaaaang, emang rejeki kita segitu kok.”
“Nih Mit bagian elo.”
Beny menyerahkan selembar duit seratus ribuan ke Demit yang bengong.
“Apa?! Elo mau protes? Gue kan cuma mau ganjilin aja jadi lima ratus rebu. Itu udah rejeki elo Mit.”
Dengan pasrah Demit pun menerima selembaran duit tadi sambil memandangi sosok Beny yang udah ikutan ngeloyor pergi dari sana.
“Bener-bener manusia kadal. Masa dari delapan juta lebih gue cuma terima seratus rebu doang. Bener-bener enggak sebanding sama resikonya. Dasar manusia-manusia kampret!”
Demit jadi sewot betul.
Kemudian ia meraih Handphone nya dan segera menghubungi Dani.
“Dan elo barusan ketemu sama Mojo nggak?”
“Iya Mit, ada apa?”
“Elo dikasih sesuatu atau apaaa gitu dari Mojo?”
“Maksud elo apaan sih Mit?”
“Maksud gue si Mojo ngasih sesuatu gitu sama elo?”
“Sesuatu apaan? Enggak ada tuh. Pas ketemu gue barusan dia cuma minta dibeliin rokok doang.”
“Itu aja Dan?”
“Iya itu aja. emang kenapa sih?”
“Enggaaaaak, nggak apa-apa.”
Demit langsung menutup telponnya. Enggak enak juga dia kalo Dani sampai tau kelakuannya nerima amplop-amplop gelap begitu.
Sementara sambil berjalan Beny merogoh-rogoh kaus kakinya dan tangannya segera mengambil tiga biji amplop dari sana.
“Ahh masih adaaa, amaaaan, untung aja gue tilep tiga amplop ini.”
Beny tersenyum lebar, dibukanya segera amplop-amplop tadi.
“Wuih, sejuta lima ratus ribu. Lumayaaaan…”
Bibirnya pun makin tersenyum lebaaaaar.
~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Tapi emang sih, Demit penasaran juga gimana caranya nanti si Mojo sama Beny buat ngehandle para suplier-suplier itu. Demit penasaran juga gimana caranya mereka berdua nanti untuk membagi-bagi barang-barang yang diorder ke semua suplier itu.
Makanya keesokan harinya dia dengan serius memperhatikan Mojo sama Beny yang sedang mengadakan rapat tertutup dengan para suplier yang dipanggil masuk satu persatu dimulai dengan suplier yang kemarin ngasih amplop terkecil yaitu dua ratus ribuan.
Disana setiap suplier yang masuk langsung disodorin kontrak kerja yang salah satu point pentingnya adalah di masalah pembayaran, dimana nantinya Tim Manajemen Joint Operation akan membayar semua material tersebut sekaligus tiap enam bulan.
Udah pasti dong, ke dua puluh dua suplier yang kemaren ngasih amplop terkecil itu teriak-teriak ngeri. Gimana enggak, wong saat ini aja nafas usaha mereka udah ngos-ngosan begitu, eh ini disuruh ngirim barang dulu dalam jumlah banyak tapi dibayarnya enam bulan lagi. Lha, mereka itu modal dari mana?
Makanya mereka semua pun pada protes minta percepatan pembayaran jadi tiap bulan, tapi tetep dengan teganya Mojo sama Beny menolak. Katanya sih…
“Kalo Bapak siap, silahkan tanda tangani perjanjian kontrak ini. Kalo Bapak enggak sanggup, silahkan Bapak mundur.”
Simple kan?
Enggak heran kalo ke dua puluh dua perusahaan suplier tadi pada mundur teratur semua. Begitu pun dengan empat perusahaan suplier yang kemarin masing-masing ngasih amplop tiga ratus ribuan, begitu disodorin draft kontrak romusha kayak begitu mereka pun langsung pada ikutan mundur teratur juga.
Nah isi draft kontrak perjanjian suplier itu pun kembali berubah ketika perusahaan-perusahaan yang kemarin ngasih amplop bekisaran lima ratus ribuan, termasuk tiga perusahaan yang amplopnya ditilep Beny. Di draft untuk mereka itu masa pembayaran diubah menjadi tiap delapan bulan sekali. Gila kan?
Udah tentu dong ke tujuh perusahaan tadi enggak sanggup dan menolak dengan halus ketika Mojo dengan Beny bergantian memaksa-maksa mereka buat menandatangani kontrak perjanjian itu.
Nah berarti sekarang kandidatnya tinggal satu perusahaan doang dong, yaitu perusahaan yang kemarin ngasih amplop paling gede yakni satu juta rupiah. Akal bulus nya Mojo sama Beny pun terus aja mengalir dengan lancar. Mereka berdua memang sengaja memanggil Pak Tohir selaku perwakilan dari suplier itu, masuk paling terakhir.
“Waduh Pak Tohir, Bapak lihat sendiri kan? Bagaimana kami bertiga ini mengupayakan agar perusahaan Bapak yang menang.”
“Iya Pak, kami menyingkirkan tiga puluh tiga perusahaan suplier hebat hanya demi buat melanggengkan supaya perusahaan Bapak yang menang lho.”
“Iya, iya saya mengerti dan berterima kasih sekali kepada Pak Mojo dan Pak Beny.”
“Usaha kita udah maksimal sekali lho Pak, iya nggak Ben?”
“Betul Pak Mojo, perusahaan-perusahaan saingan Pak Tohir tadi berupaya betul buat merayu kita dengan nyodor-nyodorin amplop tebel ke kita Pak. Tapi karena kita sudah berkomitmen dengan Pak Tohir, dengan amat sangat terpaksa amplop-amplop tadi kita tolak mentah-mentah lho Pak.”
“Iya, iya saya mengerti kok Pak, saya juga sudah siapkan amplop tebel khusus buat bapak-bapak disini.”
Pak Tohir langsung aja mengeluarkan sebuah amplop tebel yang dengan secepat kilat disamber Mojo buat diamankan. Senyum sumringah pun terpancar jelas dari wajah Mojo dan Beny. Sementara Demit tetep tuh wajahnya serius memperhatikan semua kejadian itu.
“Oya ini Draft kontraknya Pak Tohir, tolong dipelajari dulu.”
Mojo menyerahkan draft kontrak asli ke Pak Tohir yang langsung dipelajari dengan seksama.
“Ini pembayarannya tiap sebulan sekali ya Pak Mojo?”
“Oh iya Pak Tohir. Gimana? Bapak setuju kan?”
“Siip Pak.”
Pak Tohir tersenyum puas.
“Oya, gimana nih titipan-titipan kita, Pak Tohir bisa atur nggak?”
“Ohh, tenaaaaang Pak Mojo. Sudah diatur.”
“Kita dapet berapa nih?”
“Tiap kibik batu kali, Pasir, ada lima ribu perak bagian bapak.”
“Waaah, itu sih kecil banget Pak.”
“Lima ribu? Aduuh nggak bisa naik lagi gitu Pak?”
Beny sama Mojo langsung aja pada protes.
“Gimana kalo sepuluh ribu? Deal?”
“Naah kalo itu bolehlah Pak Tohir.”
“Siip, siiip deal kita.”
“Nah gitu dong Bapak-bapak.”
Pak Tohir tersenyum lebar.
“Terus kalo barang-barang yang lainnya gimana Pak?”
“Tenaaaang adalah bagian buat bapak sekitar lima persen dari harga barang.”
“Wiiii, oke, oke banget tuh.”
“Iya Ben, gue setuju sekali.”
Mojo sama Beny pun segera saling bersalaman dengan Pak Tohir dan kontrak perjanjian suplier itu pun segera ditandatangani.
Demit yang menyaksikan kejadian tadi langsung aja menghitung-hitung…
“Sembilan ribu kibik batu kali dikalikan sepuluh ribu perak jadinya kan sembilan puluh juta rupiah, itu baru batu kali doang belum pasir, semen dan lain-lainnya.”
Demit langsung teriak dalam hati begitu tau nantinya Mojo sama Beny dapet duit sebanyak itu.
“Gila bener, ilmu culas mereka memang udah setingkat strata dua. Ilmu yang kayak begini ini yang enggak bakalan pernah dapet di bangku kuliahan.”
Demit jadi geleng-geleng kepala sendiri.
“Wah Pak Tohir, kalo begitu sekalian suplai alat tulis dan kebutuhan buat administrasi kantor juga bisa dong?”
“Ohh tenaaaang Pak Mojo, perusahaan saya itu ibarat agen dunia. Bapak perlu apa aja kami sanggup.”
Mojo sama Beny tersenyum senang. Mereka lalu meyodorkan list kebutuhan barang buat kantor dan sekalian juga harga-harganya yang langsung diteliti secara seksama oleh Pak Tohir.
“Gimana Pak Tohir, sanggup?”
“Sanggup, sanggup Pak.”
“Berapa dong jatah kita?”
“Gimana kalo sepuluh persen dari tiap item barang?”
“Gimana tuh Ben?”
“Gue sih oke-oke aja Jo.”
“Kalo elo Mit?”
“Ha? Eh, gue sih ngikut aja jo.”
“Oke, kalo gitu Pak Tohir sekalian aja tandatangan kontrak suplier ATK nya.”
Setelah Pak Tohir pulang dengan senyum puas. Maka acara selanjutnya adalah bagi-bagi hasil dari amplop yang diserahin Pak Tohir tadi. Setelah dihitung isinya ternyata banyak juga lho, ada lima juta rupiah. Dan teteeeep, untuk masalah pembagian betul-betul tidak akan pernah adil merata. Dengan seenak udelnya si Mojo langsung aja mengambil empat juta rupiah sendiri dan langsung ngeloyor pergi, sementara si Beny juga begitu, dengan seenak udelnya juga dia ambil sembilan ratus ribu rupiah jatahnya dan lagi-lagi hanya menyisakan selembar seratus ribuan buat Demit yang masih duduk manis ditempatnya.
“Bener-bener manusia jahiliyah.”
Demit kesel betul.
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H