Mohon tunggu...
Kita Setara
Kita Setara Mohon Tunggu... -

Fatherhood kitasetara.org

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menyambut Era Keterlibatan Ayah dalam Pengasuhan Anak

2 Maret 2017   13:01 Diperbarui: 2 Maret 2017   13:17 56
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Menurut teori-teori pengasuhan anak, keluarga digambarkan sebagai suatu struktur ideal dengan kelengkapan dua sosok pengasuh untuk anak, yakni ayah dan ibu. Kehilangan salah satu dari keduanya memang bisa jadi bukan akhir segalanya, namun pasti berdampak.

Dalam kehidupan sehari-hari, ada sebuah pendapat mengenai hal ini yang telah diam-diam diterima masyarakat sebagai suatu kebenaran. Misal, anak yang hanya diasuh oleh ibunya cenderung menjadi anak yang manja tetapi bandel di luar rumah. Sedangkan anak yang hanya mendapat pengasuhan bapaknya cenderung keras hati.

Kehadiran ayah dan ibu memang untuk saling melengkapi. Seorang ayah membawa sifat disiplin, tanggung jawab dan kerja keras. Sedangkan seorang ibu menggenapinya dengan kasih sayang, rasa sensitif atau kepekaan, dan ketelatenan.

Dalam pola keluarga tradisional, peran ayah adalah seorang pencari nafkah yang hanya bertanggung jawab memenuhi kebutuhan ekonomi rumah tangga. Tanggung jawab akan kegiatan domestik dan perkembangan anak sepenuhnya adalah tugas ibu, yang tentu cocok dengan pameo 3M, yakni masak, macak, manak (memasak, berdandan, dan melayani suami di ranjang). Tetapi, ternyata pola pengasuhan keluarga pun berubah. Perubahan itu terjadi bukan karena tuntutan, namun semata dunia yang juga berubah secara demografi, sosial, dan budaya.

Di jaman masyarakat agraris, seorang lelaki pergi ke ladang untuk berkebun dan beternak, dan perempuannya menjaga lumbung padi di rumah sembari mengasuh anak-anak. Dunia yang bergeser ke budaya industri kemudian menuntut percepatan. Tenaga manusia, baik laki-laki maupun perempuan bernilai ekonomi dan setara dengan mesin. Perempuan tidak dianggap tabu untuk bekerja. Bahkan, pada titik tertentu, perempuan harus bekerja dianggap sebagai sebuah solusi dari tuntutan ekonomi ketika gaji laki-laki tidak laki cukup untuk menutup tuntutan kebutuhan. Perubahan budaya, sosial dan strategi ekonomi tersebut akhirnya membawa perubahan pula dalam pola pengasuhan.

Teori pengasuhan yang paling baru menyebut bahwa dalam kondisi semacam itu, peran ayah dan ibu dalam pengasuhan adalah seimbang. Artinya, ayah pun memiliki peran yang sama untuk hadir dan terlibat dalam perkembangan anak. Alangkah indah jika ibu yang telaten mengajarkan teori, sedangkan ayah yang pemberani memberi dorongan motivasi dan praktik kepada anak dengan kasih sayang.

Sebetulnya, agama juga memandang penting peran ayah dalam pendidikan. Dalam Islam, misalnya, hal itu terlihat dari antara lain: QS At Tahrim:6 yang menyatakan tanggung jawab pendidikan anak ada pada ayah. Di dalam Alquran terdapat 17 dialog yg mengajarkan mengenai pengasuhan anak yg terdiri atas 14 dialog ayah dan anak, 2 dialog ibu dan anak dan 1 dialog guru dan murid. Hal tersebut dapat kita interpretasikan sebagai peran ayah dalam pengajaran yang harusnya setara dengan ibu maupun guru di sekolah.

Dari sisi sirah (sejarah) menunjukkan bahwa pendidikan Rasulullah dibina oleh kakek dan pamannya. Meskipun bukan sosok biologis, hal tersebut berkisah bahwa tokoh besar pun lahir dari adanya keterlibatan ayah.

Pembagian kekuasaan (power sharing) yang lahir dari bergesernya peran ayah biologis ke ayah sosial akan mendorong munculnya ayah emosional, ayah akademis hingga ayah entertaint. Peran laki-laki yang selama ini hanya dianggap berharga secara fisik, pelan-pelan akan belajar kepekaan emosi, pengajaran hingga menghiasi ruang-ruang domestik dengan tawa dan candanya seiring peran keterlibatan pengasuhan.

Tantangan ke depan adalah stigma “tidak umum” dalam lingkungan sosial yang belum terbiasa dengan pandangan baru ini. Sehingga, laki-laki pun memerlukan beberapa hal agar tampil percaya diri untuk tampil sebagai “ayah baru”.

Mereka memerlukan motivasi dari pasangan agar tidak cemas menghadapi stigma masyarakat ketika mengasuh anak dianggap mengurangi kadar maskulinitas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun