Sebagai gambaran perihal pola konsumsi rumah tangga di Indonesia, pada tahun 2014 hasil Susenas (Survey Sosial Ekonomi Nasional) yang dilakukan oleh BPS untuk pengeluaran rumah tangga di Indonesia kelompok barang makanan yaitu makanan jadi sebesar 12,56%, padi-padian sebesar 6,83%, tembakau dan sirih 6,03%, ikan sebesar 3,94%, sayur-sayuran sebesar 3,45%, telur dan susu 2,95%, daging sebesar 1,93%, dan buah-buahan sebesar 2,12%.
Rendahnya pemenuhan konsumsi gizi seperti daging, ikan dan buah-buahan jika dibandingkan dengan konsumsi makanan jadi dan konsumsi tembakau dan sirih menjadi gambaran bahwa penghasilan 900 ribu hingga satu juta rupiah setiap bulan untuk memenuhi hak kecukupan gizi anak balita yang berjumlah 780 ribu sebulan itu harus terkikis oleh pemenuhan belanja konsumsi makanan jadi, tembakau dalam wujud rokok dan konsumsi non makanan seperti bayar kontrakan dan beli pulsa internet.
Pilihan bagi bapak selaku kepala rumah tangga dalam memenuhi rasa keadilan dan hak-hak anak tentu ada dalam pilihan sadarnya, apakah ingin meningkatkan penghasilan untuk memenuhi kebutuhan gizi anak atau tetap pada penghasilan yang lama tetapi mengubah struktur konsumsi yang lebih mengutamakan hak anak atas makanan yang bergizi.
Posisi bapak bukan lagi pada sikap tidak (mau) tahu urusan domestik dalam hal pemenuhan gizi. Ibu bukan lagi pihak tunggal yang (harus menerima) disalahkan dalam labelisasi "pola asuh yang salah" atau "tingkat pengetahuan yang kurang" ketika terjadi malnutrisi pada anak.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H