Tahun politik 2014 menjadi momen kunci atas kelahiran kekuatan politik baru yang mewarnai ekosistem perpolitikan Tanah Air.Â
Kendati tidak memiliki afiliasi secara struktural dengan partai politik (parpol), kelompok ini telah berhasil menunjukkan tajinya dengan mengantarkan sosok idola mereka, menuju ke singgasana tertinggi di Republik Indonesia.
Terlalu naif apabila mengatakan bahwa keberhasilan Jokowi Widodo (Jokowi) menjadi Presiden RI ketujuh pada Pilpres 2014 silam, dapat tercapai tanpa adanya campur tangan gerakan-gerakan politik akar rumput.Â
Begitu pula dengan pemilu 2019. Ada jasa besar organisasi relawan politik dalam kemenangan beruntun itu.
Efektivitas gerakan relawan politik ini pernah diukur berbagai lembaga survei. Bahkan, merujuk survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) dalam pemilu 2014 lalu, ditemukan bahwa jumlah mesin partai yang bergerak pada setiap pemilu hanya berkisar 9 persen saja. Adapun sisanya digerakkan oleh aktor atau entitas lain, salah satunya relawan politik.
Hal itu menegaskan betapa krusialnya peran relawan dalam pemilu, sekaligus mengungkapkan bahwa mesin internal partai sudah tidak terlalu efektif dalam memenangkan pesta demokrasi.Â
Akibat adanya sekat-sekat ideologis atau citra politisi yang terlanjur buruk di mata masyarakat, mesin internal partai politik mengalami kesulitan dalam bermanuver untuk merebut suara para pemilih.Â
Di sisi lain, relawan politik memiliki jangkauan segmentasi pemilih yang lebih luas dan tanpa sekat lantaran tidak terikat dengan jejaring parpol.
Tak semua konstituen pemilu mau dekat dan bersedia untuk berdialog dengan elit partai. Oleh sebab itu, diperlukan adanya tangan-tangan lain guna mendekati dan meyakinkan calon pemilih potensial.
Para relawan lah yang dianggap dapat berperan sebagai perpanjangan tangan parpol. Mereka memiliki kesempatan berdialog lebih leluasa dengan sistem pintu ke pintu ataupun mulut ke mulut (getok tular) guna merebut hati pemilih.