Tagar #JanganPercayaACT dan Aksi Cepat Tilep sempat ramai di jagat Twitter usai investigasi yang dilakukan oleh Majalah Tempo (edisi 2 Juli) menemukan adanya indikasi penyelewangan dana dari publik yang digalang Aksi Cepat Tanggap (ACT).
Donasi yang dikumpulkan melalui ACT diduga justru dipakai untuk memenuhi kebutuhan pribadi hingga gaya hidup mewah para petinggi serta keluarganya.
Tak hanya itu, sebagian dari dana umat yang terkumpul juga digunakan untuk menggaji bos-bos ACT dengan nominal mencengangkan. Pucuk pimpinan ACT dikabarkan mendapatkan upah Rp250 juta/bulan dan diberikan fasilitas mobil mewah, seperti Toyota Alphard, Honda CR-V, hingga Mitsubishi Pajero Sport.
Sementara menurut keterangan ACT, mereka mengklaim telah memperbaiki kondisi internal lembaganya dengan melakukan evaluasi dan restrukturisasi sejak Januari 2022 lalu. Mereka turut menyebut bahwa tak semua dugaan itu sesuai dengan fakta sesungguhnya.
Untuk diketahui, sejak tahun 2012 lalu, organisasi yang bergerak dalam bidang sosial dan kemanusiaan tersebut telah bertransformasi diri menjadi lembaga kemanusiaan global, dengan cakupan aktivitas yang jauh lebih luas.
ACT yang berdiri pada 2005, kini telah berkiprah di 47 negara. Selama periode tahun 2020, mereka sudah melakukan 281.000 aksi sosial. Sementara di dalam negeri, kantor cabang dan program ACT telah merambah hingga 30 provinsi dan 100 kabupaten/kota di antero Tanah Air.
Tidak sebatas kegiatan tanggap darurat, ACT juga melebarkan sayap aktivitasnya, mulai dari membuat program-program pemulihan pascabencana, pemberdayaan publik, serta kegiatan berbasis spiritual, taruhlah Qurban, Zakat, dan Wakaf.
Dugaan Pelanggaran
Dalam laporan berjudul "Kantong Bocor Dana Umat" yang ditulis Majalah Tempo, terungkap bahwa kondisi finansial ACT diduga dalam kondisi boncos sejak akhir tahun lalu akibat adanya penyelewengan dana donasi. Mereka dilaporkan sempat memotong gaji karyawannya. Kondisi itu juga makin diperburuk dengan macetnya sejumlah program.
Kredibilitas investigasi Majalah Tempo diperkuat Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi (PPATK), yang menemukan dugaan penyelewengan dana oleh ACT. Bahkan, PPATK juga menyebut adanya indikasi penilapan tidak hanya untuk kebutuhan pribadi, tetapi juga terkait dengan aktivitas terlarang.
Patut diduga, "aktivitas terlarang" yang dimaksud oleh PPATK, mengarah pada pendanaan aksi ekstremisme. Pasalnya, temuan PPATK sudah dikirim ke Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dan Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiterror Polri untuk diproses lebih lanjut.