Sejelek-jeleknya rumahmu, di sana lah tempat yang paling ramah untuk pulang. Mau sejauh apa pun Kamu pergi, rumah lah ruang bagimu menabung rindu.
Rumah tetap lah rumah tidak peduli jika didirikan di kolong jembatan, di tengah hutan, atau di pinggir kali. Setidaknya ia mampu melindungi dirimu dari guyuran hujan dan sengatan matahari.
Beberapa kalangan bisa membeli istana berfasilitas mewah dengan harga sangat wah. Sementara beberapa sisanya, sudah bersyukur memiliki rumah ala kadarnya di samping bentangan sawah.
Kendati tak dilengkapi jaccuzi, Bang Jali sudah merasa beruntung punya rumah di panggir kali. Tepat di sebelah rumahnya, ada kandang kambing milik sang orangtua. Kebetulan rumahnya tidak jauh dari kediaman saya di kampung halaman.
Baginya, aroma prengus serta kotoran kambing seakan telah menjadi subtitusi parfumnya sehari-hari. Belum lagi bau air limbah dari saluran pembuangan yang selalu menemani indra penciumannya.
Untungnya, kali di depan rumahnya itu tak pernah banjir kala musim penghujan tiba. Kalau hal itu sampai terjadi, makin ironis saja nasibnya. Semoga saja tidak.
Sebelum mendapatkan bantuan rumah swadaya dari pemerintah, Jali beserta istrinya, Tini, masih tinggal bersama orangtuanya. Karena tak punya lahan, ia mendirikan rumah di atas tanah sisa di belakang rumah orangtuanya itu.
Bang Jali tak memiliki pilihan lain sebab hanya di lahan sempit itu lah dirinya bisa mendirikan istananya sendiri. Jangankan memiliki tanah, mendapatkan pekerjaan untuk mengisi perut keluarga kecilnya saja ia sudah sangat kesulitan.