"Manusia yang paling baik, adalah manusia yang paling bisa memberikan manfaat bagi orang lain."
Di sebuah ruangan dengan nuansa Jawa itu, hanya terdengar deru mesin jahit yang saling bersahutan, menyalak atas instruksi tuannya. Bunyi lengkingan gunting sesekali menyeruak, menghiasi peluh para pejuang kehidupan.
Tatapan mata mereka tertuju pada sebuah ujung jarum, mengawasi setiap gerak-geriknya agar tak meleset dari sasaran. Jari-jemari mereka tampak begitu piawai ketika merangkai batik menjadi satu komposisi indah. Seindah mahakarya mereka yang telah menembus benua Amerika.
Beberapa dari mereka terlihat sedang mengukur serta memotong sehelai kain dengan mimik wajah yang amat serius. Sementara itu, di sisi ruangan lainnya, tampak sesosok pria yang sedang memusatkan atensinya pada cetakan batik dari tembaga.
Sosok pejuang kehidupan itu bernama Asrul. Ia terlahir dengan disablitas pada pita suara dan gendang telinganya. Meski begitu, hal itu sama sekali tak memupus semangat pria 27 tahun tersebut dalam berjuang untuk mengais rezeki. Mencetak batik merupakan keahlian utamanya.
Setali tiga uang dengan Asrul. Perjuangan pria tunadaksa bernama Teguh juga tak kalah kuat. Kendati memiliki kekurangan fisik pada bagian tangan, ia tak sedikit pun mengalami kesulitan tatkala memainkan sehelai kain batik di bawah bidikan mesin jahit.
Sudah ada ratusan produk batik yang ia hasilkan selama bekerja di sana. Bagi Teguh, kekurangan fisiknya itu tak pernah menjadi penghalang dalam menjalankan tugasnya sehari-hari. "Semangatku ini modal utamaku," ucapnya kala saya wawancarai.
Berasal dari Cilacap, Jawa Tengah, ia mengaku tertantang untuk menimba pengalaman jauh dari tanah kelahirannya. Kenekatan Teguh akhirnya membawa dirinya memijakkan kaki di Kota Pahlawan.