Memang, nilai itu tebilang sangat kecil, yang untuk membeli satu buah permen saja tak cukup. Namun, praktik culas itu diberlakukan bagi setiap siswa SD yang terdaftar di dalam area kerjanya. Imbas praktik rasuah itu, negara diperkirakan telah menanggung kerugian sekitar Rp1 miliar. Apakah nominal itu masih kecil?
Akibat perbuatannya itu, Pak Ebin harus mendekam di balik jeruji penjara selama satu tahun, yang mana lebih ringan dari tuntutan JPU (1,5 tahun). Selain dibui, ia juga diwajibkan untuk membayar denda serta mengembalikan uang pada negara.
Ironisnya, menurut klaim pengacara Pak Ebin, praktik korupsi dana BOS tak hanya terjadi pada masa kliennya menjabat saja, tetapi sudah marak sejak tahun 2007 lalu. Hanya saja, praktik rasuah tersebut tidak pernah terungkap. Bisa jadi prakrik culas serupa juga terjadi di banyak daerah lain.
Entah sudah ada berapa banyak kerugian negara dari hasil pajak, yang diakibatkan oleh 'orang-orang kotor' yang bekerja di dunia pendidikan. Nominal kerugiannya hanya bisa diketahui jika para pelakunya tertangkap. Lantas, jika tidak tertangkap?
Budayakan Rasa Malu
Pada sebuah peringatan Hari Antikorupsi Sedunia 2020 lalu, Presiden Joko Widodo tak lelah mengingatkan akan pentingnya menumbuhkan rasa malu agar kita dapat tehindar dari praktik korupsi.
"Mengembangkan budaya antikorupsi dan menumbuhkan rasa malu menikmati hasil korupsi merupakan hulu yang penting dalam pencegahan tindak pidana korupsi," kata Presiden Jokowi.
Jokowi juga menyebut bahwa pendidikan antikorupsi harus dikampanyekan untuk melahirkan para generasi penerus bangsa yang antikorupsi. Meski demikian, beliau menegaskan, perlu ada perbaikan sistem guna menutup peluang terjadinya tindak pidana korupsi (tipikor) di Tanah Air.
Saya sangat setuju dengan gagasan yang dikatakan oleh Bapak Jokowi. Rasa malu memang amatlah krusial untuk dimiliki semua warga negara, khususnya pejabat publik demi mencegah aksi menilap hak orang lain atau uang rakyat.
Terlebih, selama ini sebagian pejabat di Indonesia masih mengalami defisit rasa malu. Hal itu dibuktikan dengan masih banyaknya korupsi yang menyeret para pejabat negara, mulai dari level daerah hingga di tingkat pusat. Hilangnya urat malu juga kerap kali mereka tunjukkan. Alih-alih menyesali perbuatan kejinya, mereka justru tersenyum saat terciduk.
Agaknya, kita semua harus meneladani bagaimana publik di Jepang serta Korea Selatan membudayakan rasa malu saat terbersit keinginan melakukan korupsi. Budaya malu di kedua negara itu masih sangat kuat. Mereka yang telah terbukti mencicipi uang haram, akan menderita rasa malu yang hebat seumur hidupnya. Tak hanya pelaku, anggota keluarganya pun akan menuai rasa malu yang sama.
Kondisi itu lah yang pernah dialami oleh, eks Menteri Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan Jepang, Toshikatsu Matsuoka, yang mengakhiri hidupnya pada usia 62 tahun. Ia tidak tahan menerima tekanan dari berbagai pihak akibat kasus korupsi yang menjeratnya. Dia ditemukan tidak sadarkan diri di kediamannya di Tokyo.