Barangkali kita sudah kelewat jenuh kala mendengar kabar pecahnya konflik yang melibatkan ormas (organisasi massa) di Indonesia. Karena memang sudah sering terjadi, kericuhan itu seolah-oleh hanya menjadi sebuah alternatif hiburan untuk melengkapi jamuan minum kopi sehari-hari di rumah, alih-alih syok atau panik.
Entah sudah yang ke berapa kalinya para kader dari Pemuda Pancasila (PP) terlibat kericuhan dengan Forum Betawi Rempug (FBR). Wilayah di sekitar Pasar Lembang, Ciledug, Tangerang, sukses mereka sulap menjadi medan pertempuran pada Jumat (19/11) lalu. Insiden itu hanyalah repetisi dari konflik-konflik sebelumnya.
Seperti tawuran yang sudah-sudah, akar pemicu konflik antara ormas ini sejatinya sangat sepele. Sejumlah anggota Pemuda Pancasila yang tengah berkonvoi, terlibat adu mulut dengan kader FBR saat mereka bersua di tempat yang sama.
Adu mulut makin sengit hingga akhirnya berubah jadi bentrokan yang melibatkan senjata tajam. Akibatnya, tiga kader dari kedua kubu mengalami luka bacok parah. Peristiwa itu merupakan kelanjutan dari insiden-insiden sebelumnya, yang mana posko milik PP diserang oleh massa FBR.
Bentrokan itu merupakan pemandangan lazim bagi masyarakat sekitar. Mayoritas dipicu masalah sepele dan motif dendam. Polisi bahkan menyebut jika mereka akan selalu terlibat bentrok setiap satu hingga dua minggu sekali.
Bukan hanya massa dari PP dan FBR saja, ormas paramiliter seperti GMBI (Gerakan Masyarakat Bawah Indonesia) serta FPI (Front Pembela Islam) juga acap menjadi langganan peserta konflik horizontal.
Jika ditelusuri jauh ke belakang, sejarah lahirnya ormas paramiliter di Indonesia memang amat lekat dengan konflik dan kekerasan. PP, misalnya, yang telah ada sejak tahun 1959 silam. Berawal dari cita-cita dalam memberangus komunisme di Nusantara, ormas berseragam loreng-oranye itu bertumbuh, berkembang, dan berakar di berbagai daerah. Keberanian, agresivitas, serta militansi, menjadi ciri khas mereka, layaknya militer betulan.
Dalam bukunya "Politik Jatah Preman: Ormas dan Kuasa Jalanan di Indonesia Pasca Orde Baru", Ian Douglas Wilson, menyebut, Pemuda Pancasila memiliki fungsi politik khusus selama masa Orde Baru. Menurutnya, PP menjadi tangan ketiga partai penguasa untuk menjaga keamanan, selain ABRI (TNI) dan Polri. Dari sejarah itu lah, PP mewarisi DNA politik-militer sejak mereka terbentuk.
Label "paramiliter" yang disandang oleh Pemuda Pancasila sendiri merujuk pada keterlibatan pemerintah yang dilakukan secara tertutup, membuat kelompoknya bisa memiliki kekuatan untuk memaksa serta menindas. Sehingga, mereka akan cenderung bersikap ofensif-agresif kala menghadang lawan, yang dianggap bisa manjadi ancaman untuk basis ekonomi-politik mereka atau patronnya.
Sejumlah kader senior PP tak menampik bahwa organisasinya acap kali dianggap sangat kental dengan stigma kekerasan. Hal itu tidak terlepas dari akar sejarah PP yang harus bersikap keras guna menjaga Pancasila dan keutuhan bangsa.