Setiap orang pernah berbohong padahal tak satupun yang ingin dibohongi. Namun, bagaimana jika kebohongan itu diutarakan melalui hal jujur. Bingung, kan?
Selama ini para politisi dikenal sangat gemar berbohong yang dihiasi dengan retorika yang berputar-putar. Namun, sayangnya, semua orang ternyata juga pernah berbohong demi tujuan pribadi masing-masing.
Sebagian orang yang berbohong ingin menghindarkan dirinya dari masalah. Beberapa berbohong guna melindungi orang lain dari hal yang tak diinginkan. Ada pula kebohongan yang diciptakan dengan tujuan ingin meraih kekuasaan dan kekayaan secara instan.
Pada dasarnya, kebohongan dilakukan untuk memanipulasi orang lain dalam mencapai apa yang diinginkan, tanpa melakukan hal-hal yang berisiko atau berbahaya. Ia sering dijadikan sebagai jalan pintas atas berbagai masalah.
Ambil sebuah contoh. Saat saya hendak menghadapi ujian, orangtua saya kerap bertanya: apa saya sudah belajar untuk ujian besok?
Saya pun menjawab: saya sudah belajar. Jawaban itu adalah ungkapan kejujuran. Saya memang telah belajar. Akan tetapi, saya hanya sebatas membaca buku pada halaman pertama saja. Setelahnya, saya asik membuka media sosial.
Meski terkesan jujur, saya sebenarnya berbohong. Saya mengelabui orangtua dengan cara mengutarakan kebenaran yang setengah-setengah. Ya, memang benar saya telah belajar saat itu, tetapi tidak ada materi yang sukses masuk di otak saya sebagai bekal ujian nanti.
Kalau tidak berbohong, orangtua tentu akan memarahi saya karena tak belajar dengan sungguh-sungguh. Kebohongan itu dimaksudkan untuk melindungi diri saya dari amarah dan hukuman mereka. Opsi untuk berbohong merupakan jalan pintas yang lebih aman daripada harus berdebat dengan mereka.
Saya paham bahwa yang dimaksudkan orangtua saat bertanya kepada anaknya tentang belajar, ialah agar saya mampu memahami semua pelajaran. Sehingga, saya dapat menjawab pertanyaan ujian dengan baik dan meraih nilai bagus.