Argumentum ad hominem laksana racun di sebuah perjamuan kritik yang bergizi. Sepercik saja, niscaya akan rusak demokrasi sebelanga.
Belum lama ini, belantika perpolitikan Tanah Air diramaikan oleh kontroversi yang timbul akibat meme yang didesain Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia (BEM UI).
Kritik bernada satire itu menyinggung sikap serta janji Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang mereka anggap hanyalah bualan belaka. Selain membuat meme yang terkesan agak 'nakal', mereka pun menyertakan data demi mempertajam argumennya.
Mulai dari rindu didemo, revisi pasal karet UU ITE, penguatan KPK, hingga sejumlah janji manis lain, menjadi poin yang mereka kampanyekan lewat akun resmi Twitter-nya (@BEMUI_Official).
Kritik merupakan asupan yang bergizi bagi demokrasi. Artinya, tanpa kritik, negara penganutnya akan mengalami malnutrisi. Adalah hal yang wajar bagi mahasiswa sebagai representasi dari masyarakat, melontarkan kritik pada seorang pemimpin negara.
Yang lantas menjadi persoalan adalah, tak semua pihak mau menerima kritik. Tak semua orang mampu menyikapi kritik dengan jiwa besar dan pemikiran yang rasional.
Persoalan itulah yang sering terjadi di sekitar kita. Kritik dianggap sebagai ancaman dan provokasi, bukan sebagai momentum untuk introspeksi diri. Ledakan amarah adalah responnya saat mereka tidak pandai mengolah kritik sebagai sajian yang penuh gizi.
Usai meme satire mereka menjadi viral di media sosial, respon masyarakat pun beraneka-ragam. Publik terbelah, banyak yang pro, tak jarang pula yang kontra. Dan, sejatinya hal itu sangat lumrah.
Sayangnya, tidak semua pihak mampu menyikapinya dengan pikiran terbuka. Pihak yang kontra marah besar saat sosok pemimpin idolanya 'dilecehkan' melalui meme tersebut.
Mereka tampak lebih sibuk membahas desain mahkota dan jargon "The King of Lip Service" yang disematkan terhadap Presiden Jokowi ketimbang beradu ide dan argumentasi mengenai ragam isu yang disinggung oleh pengurus BEM UI.