Uniknya, bukan hanya pemerintah yang memainkan drama kolosal yang berjudul pembungkaman itu. Pihak rektorat pun tidak mau ketinggalan. Mereka seolah-olah berperan sebagai babu istana, yang rela menggadaikan idealismenya.
Bisa jadi narasi saya terlalu berlebihan. Namun, kesimpulan itulah yang saya dapatkan saat mengamati sikap pihak rektorat Universitas Indonesia (UI).
Mereka diketahui memanggil pengurus Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia (BEM UI) akibat mengunggah meme mengenai Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada Minggu, 27 Juni 2021.
JOKOWI: THE KING OF LIP SERVICE pic.twitter.com/EVkE1Fp7vz--- BEM UI (@BEMUI_Official) June 26, 2021
Sontak, unggahan bernada satire mereka pun menjadi "trending topic" di Twitter. Lewat akun resminya @BEMUI_Official, mereka menyematakan label "The King of Lip Service" alias Raja Membual pada Presiden Jokowi.
Meme tersebut menyoroti paradoks atas pernyataan dan sikap Presiden RI ketujuh itu selama menjalankan pemerintahan.
Ia dianggap gemar "membual" lantaran ucapannya kerap kali tak selaras dengan realita. Katanya begini, faktanya begitu. Mulai dari rindu didemo, revisi UU ITE, penguatan KPK, serta janji-janji manis lainnya.
Sejatinya tidak ada yang salah dengan unggahan tersebut karena mereka juga menyertakan data dan fakta yang akan cukup sulit dibantah oleh siapa pun.
Hanya saja, penyematan mahkota dan label "The King of Lips Service" dinilai kelewatan oleh sejumlah pihak. Sebab, Presiden Jokowi adalah simbol negara yang tak seharusnya dijadikan meme.
Alih-alih memperoleh dukungan moral, pengurus BEM UI justru dipanggil pihak rektorat. Mereka dimintai penjelasan, atau bahkan didesak untuk mencabut meme satire yang mereka populerkan.
Jika pemanggilan itu dimaksudkan guna mengubah "sedikit" desain meme-nya tanpa adanya perubahan konteks dan isu yang diangkat, maka saya setuju. Di luar persoalan tersebut, maka hal itu adalah representasi dari pembungkaman.