Mohon tunggu...
David Abdullah
David Abdullah Mohon Tunggu... Lainnya - —

Best in Opinion Kompasiana Awards 2021 | Kata, data, fakta

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Saat Kematian Keluarga Dijadikan Konten, Ada yang Salah dengan Moral Kita

7 Juni 2021   18:48 Diperbarui: 8 Juni 2021   08:30 4224
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di balik sebuah pertemuan, akan selalu ada perpisahan. Ada yang berpisah sebab pemikiran yang tak lagi sama. Ada pula yang berpisah karena jiwa yang terlepas dari raga. Begitulah kehidupan bekerja.

Mau tidak mau. Siap tidak siap. Satu persatu anggota keluarga yang amat kita cintai, akan meninggalkan kita untuk menemui Sang Khalik. Itulah yang beberapa waktu yang lalu kami alami.

Tiga tahun yang lalu, kami kehilangan seorang anggota keluarga, yang bahkan hingga detik ini kedukaannya masih kami ratapi. Sebuah guratan duka yang bahkan menempel begitu kuat di dada.

Kehilangan itu tak ubahnya sebuah "kiamat kecil", mengingat betapa berharganya kehadiran keluarga dalam kehidupan yang fana ini. Ya, memang tiada satupun kehilangan yang tidak menyesakkan hati.

Puluhan air mati bercucuran. Ratusan orang berdatangan untuk menghibur kami yang tengah kehilangan. Beribu doa dilantunkan demi memudahkan jalannya di sana.

Kemarin lusa, menjadi peringatan 1000 harinya ayahanda kami yang telah kembali ke pangkuan Sang Pencipta. Waktu yang tidak singkat. Hanya saja, kesedihannya masih menempel erat-erat.

Dalam grup WhatsApp keluarga besar kami, ada salah satu kerabat yang membagikan potret mendiang ayahanda kami dalam keadaan terbaring, tak berselang lama setelah kabar duka dikumandangkan dari masjid.

Ada amarah yang tertahan dalam diri saya. Luapan emosi yang betul-betul saya tahan sekuat tenaga. Terlebih lagi, kami masih dalam kondisi berkalang duka kala itu.

Jangankan melihat foto beliau yang sedang terbaring pucat, hanya teringat beliau saja, sudah cukup untuk membuat hati kami perih. Tak sedikitpun terbersit di otak bebal saya untuk mengambil gawai, lantas memotret beliau.

Hemat saya, sesuai dengan keyakinan yang saya percayai, mendokumentasikan fisik jenazah untuk kemudian dipertontonkan di media sosial tidak pantas untuk dilakukan. Sangat tidak pantas!

Sejatinya tindakan itu melukai hati keluarga yang ditinggalkan. Jika janazah masih bisa menjawab, tak satupun yang rela diirinya dipertontonkan dalam kondisi sudah tak bernyawa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun