Jika menggunakan beleid pada Pasal 27 ayat (3) tentang penghinaan. Pasal itu seharusnya dipakai sebagai delik aduan absolut yang mekanismenya "harus" dilaporkan langsung oleh korbannya.
Lantas, pertanyaannya, apakah Gibran membuat aduan kepada kepolisian atau tidak. Jika tidak, agaknya mereka sudah salah menerapkan pasal dalam UU ITE.
Kasus itu membuktikan jika keberadaan Virtual Police justru dapat mengancam demokrasi dan menciptakan ketakutan baru di tengah masyarakat ketika ingin melontarkan kritik kepada pemerintah.
Terminologi "pukat harimau" yang saya sematkan pada Polisi Virtual kiranya tak berlebihan sebab mereka bisa menjaring pihak mana saja, mulai dari yang sekelas teri hingga sekelas kakap.
Tak peduli sekecil apapun kesalahannya, asal ada kata dan pasal-pasal yang bisa "digoreng" sebagai pembenaran, jaring! Warga Tegal yang telah terciduk menjadi bukti level 'humor' mereka amat rendah.
Apalagi, warganet yang terciduk adalah rakyat biasa yang tidak memiliki sumber daya finansial dan basis massa layaknya para birokrat, mengkritik "sedikit" saja bisa berbuntut amat panjang. Tidak ada ruang diskusi atau pembelaan baginya.
Aparat sah-sah saja kalau mau berdalih bahwa aksi penjemputan paksa tersebut sebagai 'edukasi' karena memang itulah yang mendasari pendirian Polisi Virtual.
Namun, mereka juga harus tahu bahwa tindakan yang mereka nilai edukasi itu juga dilakukan oleh pemerintah otoriter di negara lain tatkala menerima kritik.
Banyak yang menilai bahwa keberadaan penghargaan semacam itu pada saat UU ITE dan Polisi Virtual belum sepenuhnya tuntas justru bisa memperburuk situasi dan polarisasi konflik pada masayarakat.
Amnesty International Indonesia (AII) menyebut bahwa wacana Polri yang akan memberi "Badge Awards" kepada publik membuat orang semakin takut bersuara.