Jadi, mau migrasi atau tetap setia kepada WhatsApp? Pasti bingung.
Lima tahun silam atau tepatnya pada 19 Januari 2016, WhatsApp secara resmi "menyuntik mati" biaya apapun untuk layanan mereka kepada para pengguna alias gratis selamanya.
Sebelumnya, aplikasi yang berlogo hijau tersebut memungut biaya berlangganan kepada para pengguna sebesar satu dolar AS per tahun. Tak lama kemudian publik pun mulai bertanya-tanya: "Dari mana WhatsApp memperoleh keuntungan?"
Sebagaimana yang telah diketahui. Mark Zuckerberg mengakuisisi WhatsApp pada 2014 dengan angka yang sangat fantastis, yakni sebesar 19 miliar dolar AS (setara dengan Rp233 triliun kurs pada saat itu).
Dengan uang sebanyak itu, secara logika, apakah Zuckerberg akan menggratiskan WhatsApp begitu saja untuk selamanya?
Oh, tentu tidak. Zuckerberg tak sebodoh itu! Tidak satupun perusahaan di dunia yang ingin merugi atau mengalokasikan uang tanpa maksud tertentu. Terlebih dengan nominal yang terlampau besar.
Usai diakuisisi Zuckerberg, WhatsApp sebenarnya sudah mulai membagikan data para pengguna ke Facebook secara "terbatas" sebagai sebuah konsekuensi atas layanan cuma-cuma mereka.
"Sejak 2016 silam, WhatsApp telah membagikan sejumlah data terbatas dengan Facebook di ranah backend, khususnya untuk kebutuhan infrastruktur. Tidak ada perubahan baru di update kebijakan ini," kilah WhatsApp lewat keterangan tertulis, Jumat (8/01/21).
Dalam film 'The Social Dillema', Tristan Harris pernah mengatakan bahwa jika kita tidak membayar sepeser pun untuk sebuah produk, maka kitalah produknya. Hal yang sama berlaku untuk WhatsApp dan media sosial lain.
Artinya, bermacam aplikasi media sosial gratis yang selama ini kita pergunakan sejatinya tidak benar-benar gratis. Akan selalu ada "harga" yang harus kita bayar dalam berbagai jenis layanan yang tidak memungut sepeser pun uang. Hal itulah yang harus dipahami oleh para pengguna internet di era digital.