Hemat saya, sang pencuri sudah sangat mengenali lingkungan itu. Mereka sudah mempelajari kapan momentum yang pas guna melancarkan aksinya. Mereka sudah benar-benar terlatih dan mengenali rute pelarian andai ada pengejaran.
Selain itu, aksi mereka juga tergolong sangat nekat. Mereka berani beraksi di siang bolong meski kala itu banyak orang lalu-lalang untuk beraktivitas. Apalagi, ada warung makan di ujung gang yang selalu ramai pembeli.
Faktor yang tidak sedikit pun membuat mereka gentar dan ciut nyali. Justru di tempat-tempat yang kita anggap 'aman' itulah yang menjadi target favorit pelaku curanmor.
Kasus curanmor di Kota Malang memang terbilang cukup tinggi kala itu, bahkan sampai kini. Menurut Republika, ada 370 laporan kasus curanmor selama 2020 di Kota Arema. Mirisnya, hanya 48 kasus saja yang terungkap oleh kepolisian.
Maraknya kasus curanmor di sana bisa jadi karena Malang termasuk salah satu kota pendidikan. Terdapat banyak kaum urban yang mayoritas merupakan pelajar yang memiliki kendaraan pribadi calon mangsa komplotan curanmor.
Setelah kasus tersebut, dua motor milik teman saya yang lain juga raib digondol maling. Satu motor di antaranya sukses ditemukan oleh polisi di daerah Malang selatan dengan kondisi tangki bensin yang sudah dicopot dari badannya.
Konon, wilayah itu menjadi area hitam yang dimanfaatkan oleh bromocorah layaknya gudang barang-barang haram. Hanya diperlukan tempo semalam saja untuk sebuah motor selesai digunduli.
Sebagian besar sepeda motor hasil curian memang kerap 'ditelanjangi' untuk dijual sebagai sparepart di pasar loak atau lapak barang bekas guna menghilangkan jejak. Modus tersebut mampu membuat motor sangat sulit dilacak. Hal itu terbukti dari rendahnya angka kasus curanmor yang mampu diungkapkan oleh aparat.
Apalagi, saat itu pun belum ada teknologi pengamanan ganda yang bisa secanggih sekarang. Sepeda motor merek tertentu memiliki kunci yang terlalu mudah untuk dibobol, salah satunya motor teman saya.