"BISA KEMBALI NORMAL!! OBAT COVID 19 SUDAH DITEMUKAN!!"
Kutipan di atas adalah judul video karya seorang hamba Adsense dan profesor cum penjajah jamu yang materinya dinilai bertentangan dengan nalar.
Seperti halnya iklan-iklan menyebalkan yang kita lihat sambil lalu, judul dibuat sebombastis mungkin untuk menarik perhatian para pemirsanya. Meskipun dari segi materi sama sekali tidak dapat dipertanggungjawabkan secara akal sehat.
Di era digital, media sosial menjadi etalase utama bagaimana beragam pembodohan dikemas dalam bentuk konten tanpa mempedulikan dampak dari materi yang disajikannya.
Di media sosial pula pembodohan itu mengalami amplifikasi hingga batas yang tak terhingga. Asal bisa viral. Adsense mengucur deras. Peduli amat, begitu kira-kira pikir mereka.
Eksistensinya telah berevolusi menjadi habitat yang sangat demokratis bagi siapa saja. Semua manusia memiliki hak setara untuk menyuarakan apapun yang ada di dalam pikirannya.
Ketika mereka merasa memiliki hak untuk berbicara tentang apa saja, saat itulah malapetaka bisa terjadi. Terlebih lagi jika posisi mereka adalah sebagai figur publik yang setiap tindakan dan ucapannya menjadi kiblat dan sorotan masyarakat.
Masalah acapkali timbul ketika tingginya semangat kebebasan dalam berekspresi tidak diiringi dengan kehati-hatian, bekal ilmu dan keahlian yang dimiliki.
Taruhlah ketika kompleksitas mikrobiologi dianalisis menggunakan pendekatan ilmu matematika. Atau fatwa mengenai halal-haram yang dikeluarkan oleh lulusan channel YouTube, dan lain sebagainya.
Lantas akibatnya, dunia seketika menjadi ekosistem yang sangat gaduh, penuh akan bias dan kontroversi seperti halnya yang kita dapati di media sosial akhir-akhir ini akibat klaim jamu atau jimat yang efeknya serupa vaksin itu.
Manusia diciptakan dalam keterbatasan agar ia mengetahui ambang batas dirinya dan senantiasa menjadi homo homini socius yang membutuhkan satu sama lainnya. Adalah mustahil bagi manusia untuk bisa menguasai segala hal, terutama bagi mereka yang tidak memiliki dasar ilmu yang mumpuni.