Berawal dari hasil survei pada Juli 2019 lalu, langkah politik Sang Putra Mahkota dimulai. Polemik dinasti politik pun memuai.
Dalam salah satu magnum opus-nya, II Principe (The Prince), Niccolo Machiavelli bersabdah, bahwa kekuasaan harus dipertahankan sedemikian rupa meski terlebih dahulu harus memuntahkan isi jeroan mengenai etika ke tong sampah.
Menurutnya, politik dan moral adalah dua hal yang sama sekali berbeda dan harus dipisahkan. Maka dari itu, yang dipandang hanyalah kesuksesan dalam mencapai dan melanggengkannya, sehingga tidak diperlukan adanya perhatian terhadap moral dalam perkara politik. Penguasa memiliki legitimasi untuk berbuat apa saja asalkan tujuan politiknya tercapai.
Hanya ada satu etika politik baginya, yakni apa saja yang mampu memperkuat sekaligus mempertahankan kekuasaan itu sendiri.
Machiavelli dikenal sebagai Bapak Filosofi Politik Modern. Ia menjadi kiblat politik era Renaissance di bawah Dinasti Medici. Buah pemikirannya mampu "meracuni" otak para penguasa dunia semisal Adolf Hitler, Joseph Stalin, Napoleon Bonaparte, hingga Benito Mussolini.
Bisa jadi filsuf kelahiran Florence itu akan merasa pongah karena filosofi politik yang ia rumuskan 5 abad lalu itu masih relevan hingga kini.
Di jagat perpolitikan Indonesia, etika telah menjadi komoditas yang sangat langka, padahal moralitas itulah syarat utama bagi terciptanya tatanan politik yang beradab sekaligus bermartabat.
Rendahnya etika politisi di negeri ini seakan sudah menjadi pemandangan yang lazim. Bahkan mereka sudah tidak lagi memiliki urat malu atas rendahnya moralitas mereka yang dipertontonkan di hadapan publik.
Politik dinasti diartikan sebagai kekuasaan politik yang dijalankan sejumlah orang yang masih memiliki hubungan kekerabatan, baik karena garis keturunan, hubungan darah, atau karena ikatan perkawinan.