"Apalah arti sebuah nama?"
Seandainya William Shakespeare masih hidup saat ini, orang tua Dita Leni Ravia akan memberikan kuliah intensif kepadanya, khusus untuk mengupas tuntas mengenai arti sebuah nama.
Pemberian nama, khususnya dalam tradisi Jawa, merupakan sebuah konsep pengejawantahan doa. Ada harapan orang tua yang teramat besar kepada anak-anaknya melalui doa yang diwujudkan dalam nama.
Sebagaimana yang tertulis dalam artikel saya yang berjudul "Senja Kala Nama Tradisional Jawa", masyarakat Jawa zaman dahulu memiliki kecendrungan untuk menamai anak mereka dengan cukup sederhana. Umumnya hanya terdiri dari satu suku kata.
Hal itu sejalan dengan filosofi orang Jawa yang sangat menjunjung tinggi nilai-nilai kesederhanaan dalam hidup. Namun, seiring dengan perkembangan zaman, nama sudah tidak bisa lagi dipandang secara sederhana. Dengan kata lain, pemberian nama tidak cukup hanya terdiri dari satu suku kata saja.
Kala itu, kesalahan nama tidak terlalu berdampak secara signifikan pada diri seseorang karena memang surat menyurat ataupun pendataan legalitas belum terlalu populer.
Sedangkan hari ini, pemberian nama yang hanya terdiri dari satu suku kata saja akan memperbesar peluang sang penyandang nama untuk menemui beragam kesulitan di kemudian hari.
Kesulitan akibat kesamaan nama dengan orang lain semacam itu pernah dialami oleh Menkopolhukam, Mahfud MD, saat ia duduk di bangku sekolah SMTP. Ternyata ada dua siswa lainnya yang memiliki nama sama (Mahfud) dalam satu kelas yang sama pula!
Saat sang guru memanggil nama Mahfud, ketiganya serempak mengacungkan jari. Alhasil, sang guru pun dibuatnya bingung. Akhirnya ia memutuskan untuk memberikan label huruf dibelakang nama agar bisa membedakan mereka bertiga.