Ada fenomena serupa yang diterapkan Gus Dur ketika beliau mengganti nama Irian Jaya menjadi Papua dengan alasan agar tidak sakit-sakitan. Pada akhirnya itu terbukti. Pada masa pemerintahan Gus Dur Papua bisa "sembuh", meski sebelumnya ingin merdeka.
Sama halnya nama tradisional Jawa, penggantian nama karena faktor "keabotan jeneng" juga mulai jarang ditemui. Kalaupun ada, mereka akan menemui kesulitan dalam merubah identitas di Disdukcapil. Selain itu juga harus merubah nama pada surat-surat hak kebendaan. Dan semua itu akan memakan biaya yang tidak sedikit dengan melewati proses yang juga tidak singkat.
Sementara di zaman dahulu, identitas atau surat-surat hak kebendaan semacam itu belum menjadi kebutuhan atau prioritas utama. Pendataannya pun masih sangat sederhana.
Pemilihan nama juga identik dengan gender. Jika jenis kelamin merujuk pada perbedaan biologis dari alat kelamin serta faktor genetik. Maka gender--dalam hubungannya dengan nama tradisional Jawa--merupakan hasil dari konstruksi sosial dan budaya.
Tanpa adanya penamaan berdasarkan gender akan meningkatkan peluang terjadinya mispersepsi jenis kelamin. Sebagai contoh, Suparno, Suyoto, Ngadiran, Nyoto, Pardi, Paijo, dan Parman hanya untuk mereka yang berjenis kelamin laki-laki.
Sedangkan nama-nama seperti Sumarni, Sulastri, Ngatemi, Painem dan Juminten dikhususkan untuk mereka yang berjenis kelamin perempuan. Akan sangat sulit dijumpai nama-nama maskulin yang disematkan pada perempuan atau sebaliknya. Hal itu pula yang menjadi salah satu ciri khas nama tradisional Jawa.
Lain halnya dengan penamaan modern yang sangat banyak ditemui nama multi-gender (unisex), taruhlah Firda, Andri, Ariel, Vicky, dan Eka yang bisa dipakai untuk laki-laki maupun perempuan.
Umumnya nama tersebut akan diikuti setidaknya satu nama lagi dibelakangnya untuk menghindari kesamaan nama satu sama lain. Semakin banyak penduduk, maka akan semakin heterogen pula penamaannya. Sebuah konsekuensi logis demi menghindari kesalahan-kesalahan yang tidak perlu.
Di zaman modern, kesamaan nama akan berakibat fatal. Kesalahan gender juga akan menyebabkan mispersepsi sehingga berdampak pada kehidupan seseorang. Karena hal itu pula yang menyebabkan nama-nama modern dibuat panjang dan terkesan anti-mainstream.
Memberikan nama pada anak adalah hak dari setiap orang tua. Mereka bebas menamai anak-anaknya. Karena memang belum ada aturan dari pemerintah yang membatasi penamaan pada anak.