Fenomena tren penurunan nama Jawa pernah diteliti oleh antropolog dari George Washington University AS, Prof. Joel C. Kuipers. Selama 10 sepuluh tahun Kuipers melakukan penelitian di tiga tempat yang paling merepresentasikan Jawa, yakni Bantul, Lumajang dan Lamongan.
Kuipers dan timnya mengumpulkan total 3,7 juta nama, merentang dari penduduk kelahiran tahun 1900 hingga tahun 2014 alias berjarak satu abad.
Dengan memakai pendekatan kuantitatif, Kuipers dibantu peneliti Indonesia untuk memilah nama-nama yang terkumpul menjadi 6 kategori, yakni Arab murni, Arab campuran, Jawa murni, Jawa campuran, Barat murni, dan Barat campuran.
Dari ketiga kabupaten, ditemukan tendensi nama Arab yang tinggi mulai dari tahun 1990-an hinggat tahun 2000-an. Di Bantul dan Lamongan, masing-masing Kabupaten mengalami peningkatan 50% dan 40% yang ditandai dengan setidaknya setiap bayi mengandung satu nama Arab (Arab campuran) atau bahkan nama Arab murni.
Sedangkan yang terjadi di Lumajang serupa dengan Lamongan. Pada 1970-an nama Arab campuran mengalami peningkatan sementara nama Jawa menurun drastis. Bisa jadi itu disebabkan oleh citra kaum Abangan yang kerap diidentikkan dengan gerakan kaum sosialis buntut dari G30-S. Selain itu juga karena faktor kedekatan Lumajang dengan Madura yang mayoritasnya muslim taat.
Kuipers juga menemukan penamaan dengan hanya satu kata (nama tunggal) mengalami penurunan yang sangat drastis dalam kurun 30 tahun terakhir. Nama itu mayoritas digunakan pada anak-anak di era 1970-an, setelahnya mengalami penurunan. Kini bayi dengan nama tunggal hampir tercatat 0 persen.
Selain faktor-faktor yang telah dipaparkan di atas, fenomena ini juga didukung oleh kondisi sosial-politik Indonesia. Sejak merdeka misalnya, nama tradisional jawa selalu diidentikan dengan 'kelas bawah' yang harus dihindari sebab diasosiasikan dengan feodalisme masyarakat Jawa yang dapat melanggenggkan penjajahan.
Secara psikologis, nama bukan hal yang patut dipandang remeh. Tak hanya menjadi identitas, nama juga dapat membentuk kepribadian dan mempengaruhi perkembangan emosi dan sifat-sifat pemiliknya secara langsung maupun tidak langsung.
Saking berpengaruhnya sebuah nama pada diri seseorang, masyarakat Jawa zaman dahulu akan mengganti nama anaknya jika dia sakit-sakitan.
Orang-orang Jawa percaya bahwa anak yang sakit-sakitan akibat "keabotan jeneng" (keberatan nama) akan sembuh atau pulih kesehatannya setelah namanya diganti. Pergantian nama itu akan disertai dengan diadakannya selamatan atau bancakan.
Untuk lebih jelasnya tentang kategori dan cara menghitung berat nama seseorang berdasarkan perhitungan Jawa bisa dilihat di sini.