Pentingnya sebuah nama dalam tradisi masyarakat Jawa secara tidak langsung membuktikan bahwa anggapan William Shakespeare tentang "apalah arti sebuah nama?" tidak lagi relevan.
Kemajuan teknologi akan membawa informasi yang melimpah, yang selanjutnya akan membuka peluang bagi orang tua untuk menamai anak mereka sejauh informasi yang mereka dapatkan. Kekayaan kosa kata akibat kemajuan teknologi (internet) membuat referensi nama juga makin bertambah pesat.
Mungkin saja orang tua akan menamai anak mereka sama dengan nama artis atau atlit idolanya, dengan harapan si anak akan bisa menyamai idolanya secara fisik ataupun prestasi.
Hal itulah yang membedakan penamaan anak saat ini dengan zaman dahulu. Akses informasi yang terbatas menyebabkan pilihan nama-nama Jawa tradisional belum tercampur dengan budaya lain.
Jika ditelisik jauh ke belakang, masuknya Wali Songo pada abad ke-15 dan Belanda pada abad ke-16 juga membawa pengaruh budaya ke Indonesia. Akhirnya juga berpengaruh terhadap tren penamaan orang Jawa, meski tren penurunannya tak sebesar saat ini.
Islamisasi tanah Jawa oleh Wali Songo memberikan dampak cukup signifikan, yang juga didorong oleh kondisi sosial-politik Indonesia saat itu.
Beberapa memilih nama Arab sebagai bentuk kesalehan mereka terhadap Islam dan tokoh-tokoh muslim yang berpengaruh. Ada juga yang memilih nama Arab atas dasar agar tidak diidentikkan dengan gerakan yang dilarang pemerintah saat itu.
Pergantian nama juga dilakukan oleh masyarakat Jawa selepas menunaikan ibadah Haji atau ketika orang tersebut pindah agama. Nama Jawa akan digantikan dengan nama yang lebih Islami atau bisa juga disisipkan di depan nama aslinya. Misalnya, Muhammad, Ahmad, Siti atau Aisyah.
Di samping itu, penyematan "Haji" dan "Hajah" di depan nama juga dilakukan sebagai tanda bahwa orang tersebut telah melaksanakan ibadah Haji.
Konon, penyematan "Haji" atau "Hajah" bertujuan agar memudahkan pemerintah Hindia Belanda untuk mendeteksi calon musuhnya. Hal itu disebabkan Perang Jawa (1825-1830) dan pemberontakan petani pada abad-19 yang dipelopori oleh para pemuka agama dan haji. Sehingga pemerintah Belanda mulai menganggap serius mereka yang menunaikan ibadah haji dengan penyematan label tersebut.
Sebagian yang lain lebih memilih nama Barat sesuai dengan budaya yang dibawa oleh Bangsa Belanda atau Portugis yang pernah menduduki Indonesia.