Rasialisme layaknya sebuah reaktor nuklir besar yang terus menerus diproduksi hingga menunggu terjadinya reaksi fusi untuk memicu ledakan.
Rasialisme telah melekat dengan sejarah berdirinya negara Amerika Serikat. Keadaan tersebut semakin memburuk di tengah kesenjangan dan diskriminasi yang dialami oleh orang-orang kulit hitam.
Mereka hanya dianggap sebagai budak dan hak-hak mereka dibatasi oleh orang kulit putih yang merasa lebih superior.
Jauh sebelum tewasnya Floyd, sejarah diskriminasi rasial berada pada puncaknya setelah Perang Sipil (Civil War) meletus pada tahun 1861 sampai 1865. Orang-orang berkulit hitam tersegregasi dari akses fasilitas publik.
Hingga akhirnya rasisme sistemik itu mengodifikasi praktik perbudakan yang tidak manusiawi dan telah diwariskan sejak Perang Sipil menjadi produk hukum formal yang dipraktikkan sampai saat ini.
Di Indonesia sendiri, rasialisme yang dialami Floyd memiliki kemiripan dengan peristiwa pengepungan di asrama mahasiswa Papua di Yogyakarta pada 2016 serta di Surabaya dan Malang pada 2019 yang diwarnai dengan ujaran-ujaran rasial yang dipertontonkan.
Warga--sebagian besar orang Papua--yang terpicu amarahnya atas tindakan rasial itu menggelar unjuk rasa sebagai wujud protes dan solidaritas di Papua dan Papua Barat bahkan sampai ke Jakarta.
Obby Kogoya adalah salah satu mahasiswa Papua yang berada di peristiwa pengepungan asrama di Yogyakarta. Ia mengalami nasib serupa dengan George Floyd. Beruntung, dia masih selamat.
Saat itu asrama mahasiswa Papua dikepung oleh beberapa Ormas dan aparat keamanan. Atas dasar solidaritas, Obby tergerak untuk memberikan bantuan makanan kepada rekan-rekannya yang sedang terkepung. Sebelum memasuki asrama langkahnya dihadang.