Mohon tunggu...
David Abdullah
David Abdullah Mohon Tunggu... Lainnya - —

Best in Opinion Kompasiana Awards 2021 | Kata, data, fakta

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kentongan dan Sarung, Syarat Sah Tradisi Patrol

9 Mei 2020   06:24 Diperbarui: 9 Mei 2020   06:23 217
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebagai anak manusia yang terlahir di akhir 80-an, pada masa internet of things masih berwujud angan-angan. Patrol adalah momen Ramadan yang paling kami tunggu-tunggu selain datangnya kumandang azan magrib sembari menunggu takjil di pelataran masjid kampung kami.

Tidak hanya sholat, patrol juga dilakukan secara berjamaah. Karena hal yang baik memang idealnya dilakukan secara berjamaah. Dalam membangunkan orang sahur terdapat pahala dan keutamaan, serta sebagai wujud semangat gotong royong.

Dalam menggelar patrol, tidak diperlukan alat musik dan skill khusus, apapun yang bisa kami pegang adalah alat musik, asal mampu menimbulkan keributan suara. Dan setiap peserta patrol adalah seniman orkestra yang handal, tidak ada sedikit pun keraguan!

Setiap peserta patrol adalah Johann Sebastian Bach atas alat musik yang dikuasainya, meskipun Johann nggak pernah ikut patrol.

Namun ada satu pengecualian, absennya Kentongan adalah suatu hal yang mendekati haram, harus ada! Tidak boleh tidak! Kehadiran Kentongan merupakan esensi dari semua alat musik patrol. Tidak ada subtitusi untuk absennya alat musik dari bambu tersebut.

Kentongan adalah sebuah karya masterpiece yang menjadi simbol kecerdasan dan teknologi komunikasi yang paling mutakhir pada masanya. Ketukan-ketukan Kentongan layaknya kode morse yang memiliki makna tertentu dan hanya dipahami oleh masyarakat Indonesia. Pun sudah ada sejak berabad-abad silam.

Selain sabagai alat berkomunikasi untuk mengajak warga berkumpul dan sebagai tanda jika ada maling, Kentongan juga memainkan peranan vital sebagai early warning system dengan kearifan lokal tentu saja.

Mempertimbangkan faktor historis dan peranannya di tengah masyarakat (jaman dahulu), sudah selayaknya Kentongan disandingkan dengan Wayang, Keris, Batik, dan Angklung sebagai Warisan Budaya Takbenda Indonesia oleh UNESCO.

Pada dasarnya setiap benda yang bisa dilihat dan dipegang adalah alat musik patrol (asang.exblog.jp)
Pada dasarnya setiap benda yang bisa dilihat dan dipegang adalah alat musik patrol (asang.exblog.jp)
Dua sejoli dandang dan panci pun kerap tak mampu lolos dari jangkauan pasukan patrol. Karena pada dasarnya-ya-itu-tadi-setiap benda yang bisa dilihat dan dijangkau tangan adalah alat musik dengan kearifan lokal. Karena alat musik patrol lebih bersifat ritmis, tanpa peralatan diatonik.

Tak heran, karena budaya Jawa adalah budaya yang sangat menjunjung tinggi kreatifitas dan fleksibilitas. Tak sebatas dari segi alat musik yang dipakai, fleksibilitas itu juga berlaku untuk sarung. Bahkan bagi kami, sarung merupakan piranti yang hukumnya sanna-yasunnu-sunnatan, harus ada. Karena kalau nggak ada, susah.

Kami biasa memulai patrol pada jam 1-2 dini hari dan terlebih dahulu berkumpul serta menginap di salah satu rumah teman kami. Sarung-lah yang menjadi selimut penghangat kami.

Posisi sarung-pun seketika berubah menjadi syal pada saat patrol dimulai, guna menghalau dinginnya angin malam.

Sarung diperkirakan muncul di Indonesia pada abad ke-14 yang dibawa oleh pedagang Arab dan India. Berdasarkan catatan sejarah, sarung berasal dari Yaman yang dikenal dengan sebutan Futah.

Sarung telah menjadi bagian yang tak terpisahkan bagi umat muslim nusantara. Sarung adalah katalis, salah satu faktor sah-nya menunaikan sholat, dalam fungsi utamanya menutup nganu aurat.

Terlebih bagi santri, sarung laksana baju zirahnya King Leonidas-Sparta, atau posisinya hampir bisa disejajarkan dengan baju hazmat para pejuang Covid-19. Saking vitalnya! Bahkan tanpa sarung seorang santri berpotensi kehilangan marwahnya.

Kain yang dililitkan dari pinggang sampai ke nganu ini biasa dipakai ketika mengaji, ibadah, patrol atau kegiatan berjamaah lainnya.

Sarung juga bisa dipakai sebagai pengganti selimut ketika tidur. Bahkan, ada sebuah adagium mengatakan "tidak ada handuk, sarung-pun jadi". Saking fleksibelnya!

Motif sarung bisa berbeda-beda di setiap daerah tergantung pengaruh asimilasi atau akulturasi budaya yang diterima masing-masing daerah.

Dengan memakai kentongan dan sarung, kita telah berperan serta dalam melestarikan warisan budaya nusantara, agar tidak ada lagi negara tetangga yang mengakuisisinya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun