Romawi Kuno dikenal bukan hanya dari strategi perang, gladiator, seni serta arsitekturnya, namun juga karena kemewahannya.
Kota asal klub sepak bola AS Roma itu terletak di Semenanjung Apenina (sekarang Italia) yang merupakan negara-kota di Eropa yang menjadi sumber kebudayaan Barat pada masanya.
Romawi membangun peradaban Eropa pertama, termasuk kebiasaan makan yang sampai saat ini masih dilakukan. Fast food yang hari ini kita kenal ternyata berasal dari budaya Romawi Kuno yang berawal dari kebiasaan yang diwariskan oleh masyarakatnya. Sistem makanan cepat saji itu pertama kali ditemukan di sudut jalanan Roma dan Pompeii.
Menurut seorang filsuf Romawi Kuno, Saneca, orang kaya Romawi memaksa untuk memuntahkan makanannya agar bisa makan lebih banyak lagi.
Mereka biasa memuntahkannya ke mangkuk yang berada di sekeliling meja. Kadang mereka juga melakukannya langsung di lantai dan melanjutkan perjamuan makan seolah tidak terjadi apa-apa.
Bagi bangsawan Romawi Kuno, makan adalah sebuah kemewahan serta kesempatan untuk menunjukkan status sosial dan prestise. Terdengar familier dengan kebiasaan makan masyarakat kelas atas Indonesia?
Selama ini banyak orang beranggapan jika sudah memesan makanan di restoran lantas makanan yang dipesan itu sepenuhnya sudah menjadi hak kita untuk berbuat seenaknya. Asalkan sudah dibayar, mau dimakan habis ataupun disisakan maka suka-suka kita.
Beberapa restoran di Jerman bahkan sudah mulai menerapkan denda bila makanan yang dihidangkan di piring pelanggan tidak dihabiskan. Denda yang diterapkan bertujuan agar para pelanggan bisa mengukur sendiri kemampuan makannya dan tidak memesan berlebihan.
Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) yang berada di bawah naungan PBB, memperkirakan manusia membuang 1,3 miliar ton makanan setiap tahunnya. Sementara sekitar 800 juta manusia di belahan bumi yang lain kekurangan gizi dan kelaparan.
Dalam konteks Ramadan, bulan yang sejatinya mengharuskan kita untuk belajar mengendalikan hawa nafsu, namun di saat yang sama, hasrat untuk bersukacita malah membawa kita pada perkara mubazir dan sia-sia. Saat berbuka kerap disalahartikan sebagai momen balas dendam setelah berlapar-lapar seharian.
Kebiasaan menghidangkan makanan berlebihan di saat Ramadan tidak semerta-merta dilakukan untuk memuaskan lidah, namun juga digunakan untuk memuaskan mata. Hingga sisa makanan yang tidak termakan berakhir di tong sampah.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!