Patuh Dan Rapuh
Patuh,,, patuh,,, patuh,,,
Melebur diri dalam tataran dan tatanan
Tanpa batas dan tiada sanggahan
Melaju menambah timbunan
Timbunan ketak berdayaan.
Rapuh,,, rapuh,,, rapuh,,,
Terseok tanpa keluh dan kesah dan desah
Lelah tersimpan rapi dalam wadah
Wadah getir nan lapuk sudah
Melepuh dan bernanah
Patuh atau rapuh? Singgah atau singgasana?
Patuh tak harus rapuh. Singgasana bukan untuk singgah.
Altarmu menderu memanggil dengan bersahaja.
Durjana kata melintang lumuri rasa.
Diamlah peluklah aku saja.
Arwana mengecap lahap, membuat makanan di atas piring ludes seketika. Melati menatapnya tak berkedip, ingin berkata namun ditahannya sampai Arwana menyudahi santap malamnya. Diulurkannya segelas air putih, lalu dirapikannya meja makan sebelum memulai pembicaraan.
“Kanda, boleh aku bicara?”
“Hm,” jawab Arwana masih pongah.
“Piring yang tadi kau tumpuk retak satu yang bawah.”
“Ya sudah buang saja.”
“Aku akan menambalnya, siapa tahu masih ada yang memerlukannya walau sudah retak.”
“Piring retak mana ada yang mau?”
Melati menunduk, ingin berkata, namun bisu saja dia sajikan. Arwana berdiri dan bersiap pergi. Melati tak banyak tanya, tak ingin tanya, tak ada kata, melayani begitu saja merapikan piring-piring retak berserak bertumpuk dalam bisu. Piring-piring lelaki.
“Piring-piring lelaki,” desahnya, “Aku tak akan menjadi piring bertumpuk.”
Lalu Melati merapikan diri, menggelar permadani mini, mencari penasehat hati. Dia tak ingin tahu ke mana sang suami hendak pergi. Yang dia tahu piring lain sudah menunggunya di pintu lain, dengan dandanan yang tentu saja lebih cantik darinya. *****
===============================================================
Menyantap makanan yang kau suka tak harus dari dua piring sekaligus karena bisa menimbulkan retak pada salah satunya. Kalaupun kau dapat menjaganya tetap saja kau berikan gesekan di sana hingga santunmu dapat terlumuri rakusmu.
================================================================================
Hai Melati Mentari Cemeti Lelaki di sana, letakkan letakkan rakusmu.
Sudahi mencecer warna di jalan batu beku bisu pilu.
Di sini adalah cawan tak seranum liurmu.
Mari menuang bersulang saja
Untuk kopi pahitku.
-MH-
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI