Mohon tunggu...
Chandra Rea Kisuluh
Chandra Rea Kisuluh Mohon Tunggu... -

Caffeine addict and nicotine junkie

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Kamu Bidadari Surga Bukan Beruang Betina

27 September 2010   09:02 Diperbarui: 26 Juni 2015   12:56 154
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

BRAK! Pintu kamar kost terbuka. Cara barbarmu tetap sama. Hahaha, dasar wanita berjiwa pria. Sini, Nduk, aku sudah siap mendengarmu mengigau. Tanpa banyak kata kamu menyeruduk masuk, menempelkan kepalamu di pahaku. Meringkuk. Lucunya kamu, Nduk... Sungguh aku bernafsu melumat bibirmu dan merengkuhmu. Tapi tidak. Aku bukan pujangga mesum, walau kamu sering menuduhku begitu. Sudahlah, cukup aku membelai rambutmu.

"Kapan aliran ini berhenti mas?" Ucapmu sambil memejamkan mata.

"Aliran?"

"Aliran kehidupanku. Aku capek mengalir. Ingin secepatnya sampai di samudera".

"Kamu ingin mati?"

"Bukan mati, hanya sampai di samudera".

"Apa bedanya? Arti kiasanmu tadi kamu ingin mati kan?"

"Bukan mati mas! Aku ingin sampai di samudera, akhir perjalanan hidup. Di samudera akhirat, tempat berkumpulnya aliran - aliran kehidupan dari penjuru bumi".

"Kenapa ingin cepat - cepat mati, Nduk?”.

"Ingin merasakan surga"

"Hahaha"

"Apa yang lucu, Mas?" Kamu tersenyum getir.

"Tapi aku kira kamu sedang menyiapkan diri untuk neraka, bukankah kamu lebih nyaman berkata jancok daripada astaghfirullah?"

"Tau apa mas tentang surga?!" Kamu beranjak dari pahaku. Terduduk tepat di depanku. Matamu menyalak tajam. Kambing, aku lupa, kamu paling alergi dengan segala macam doktrin agama. Ah, sudahlah. Paling hanya cacianmu yang akan aku terima. Dan aku sudah kebal sepertinya.

"Tidak banyak, Nduk, aku hanya paham tentang bidadari surga”. Kamu diam, tampaknya marah, aku melanjutkan.

"Bidadari surga, mahkluk terindah, harta karun yang tidak pernah tersentuh makhluk mana pun. Mutiara sebenarnya di samudera akhirat. Namun wanita - wanita yang menjaga kesucian dan taat pada suaminya akan terlihat lebih menawan di hadapan sang suami dibandingkan para bidadari surga". Aku menunggu reaksimu. Matamu semakin merah. Marah.

"Dan aku ingin melihatmu lebih cantik dari bidadari - bidadari itu, Nduk...”. Aku genggam tanganmu.Bukannya sok romantis! Terakhir kali aku melamarmu, kamu menamparku. Ini antisipasi. Beruang betina semacammu harus mendapat pengamanan ekstra.

"Mau menikah denganku, Nduk?"

***

Baiklah, aku menyerah. Mari kita bicara lagi empat mata. Bukan, ini bukan tentang agama yang mengakar atau emosi yang menjalar. Ini tentang kehidupan serta kematian, topik favoritmu. Ah sudahlah, sini, Nduk, mulailah bercerita lagi, aku ingin memelukmu.

***

Sial, hidungku sakit karena penolakanmu terhadap lamaranku, Nduk, aku lupa kamu masih punya kaki.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun