Mohon tunggu...
kisno
kisno Mohon Tunggu... Ilmuwan - Linguis, Penerjemah, Juru Bahasa, Penulis Buku dan Artikel Ilmiah, Kritikus Pendidikan

Linguis, Penerjemah, Juru Bahasa, Penulis Buku dan Artikel Ilmiah, Kritikus Pendidikan

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Kapan Kebangkitan Pendidikan Indonesia (Lagi)?

20 Mei 2019   18:04 Diperbarui: 21 Mei 2019   09:23 105
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saat tulisan ini diunggah ke laman Kompasiana, saat yang bersamaan pula diperingati Hari Kebangkitan Nasional dengan tiga angka kembar yang cukup unik, yakni 111. Secara numerik, sudah 111 tahun kebangkitan nasional ada sejak pertama sekali didirikan sebuah organisasi yang dinamakan Boedi Oetomo. Tidak tanggung-tanggung, organisasi tersebut didirikan oleh beberapa orang founding person (para pendiri) dari Bangsa Indonesia yang sekaligus berstatus sebagai siswa di sekolah pendidikan dokter bagi kaum pribumi di Batavia, Hindia Belanda.

Awalnya, organisasi Boedi Oetomo diprakarsai oleh dr. Wahidin Soedirohoesodo pada era revolusi industri 2.0 dengan sebuah tujuan mulia yakni mendirikan Dana Siswa untuk membiayai pemuda-pemudi yang cerdas namun tidak dapat melanjutkan studi mereka. Pada tahun 1907, dr. Wahidin kemudian bertemu dengan Soetomo, seorang pelajar STOVIA dan tujuan mulia tersebut kemudian diperluas cakupannya menjadi perbaikan sosial yang mencakup Jawa dan Madura. Bahkan di era revolusi industri 2.0, para pemuda sudah memiliki mental dan tindakan perjuangan yang diikhtiarkan untuk bangkit melawan kolonialisme, padahal waktu itu akses komunikasi di Hindia Belanda sangat minim, namun tak menyurutkan niat mulai mereka berdiskusi, bertukar ide dalam suatu forum yang kemudian menjadi cikal bakal kebangkitan nasional. Bahkan bila ditarik mundur ke belakang (era akhir revolusi industri 1.0), Multatuli sudah menerbitkan sebuah novel yang berjudul “Max Havelaar” yang berisikan kisah mengenai tanam paksa yang menindas kaum bumiputera yang juga menjadi inspirasi kebangkitan perjuangan.

Bila melihat kembali dari latar belakang mereka (termasuk yang ada di dalam Boedi Oetomo), mereka semua adalah kaum terdidik yang mengaktifkan energi akal pikiran mereka demi melawan penindasan. Artinya proses berpikir dan menalar melalui akal yang mereka miliki timbul sebagai hasil dari pemicu utamanya yakni pendidikan. Pada masa ini, pendidikan Indonesia sudah bangkit, namun dengan tujuan memadamkan kolonialisme di bumi nusantara.

Beralih ke era 3.0, internet dan berbagai teknologi sudah muncul. Dengan kata lain, akses terhadap teknologi dan komunikasi semakin terbuka di Indonesia, apalagi Indonesia sudah dalam keadaan merdeka kurang lebih 50-60 tahun. Pada usianya yang setengah abad atau lebih tersebut, keadaan pendidikan di Indonesia semakin membaik, namun dibandingkan dengan pesatnya kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, Indonesia masih belum mampu mengimbangi beberapa negara dalam satu kawasan Asia Tenggara di dalam bidang pendidikan. Ambil saja contoh, sejak tahun 2000 Indonesia sudah berpartisipasi dalam PISA (Programme for International Students Assessment), yang mengevaluasi sains, membaca, dan matematika siswa-siswi berusia 15 tahun. Dalam kurun waktu 15 tahun, Indonesia tetap berada di peringkat 10 terbawah di antara semua peserta program tersebut. Hal ini semakin diperparah lagi dengan adanya karut-marut penyelenggaraan Ujian Nasional di berbagai daerah.

Indonesia mampu “unjuk gigi” dengan banyaknya prestasi akademik dan non akademik di kancah regional dan internasional pada era 4.0. Namun ini juga menjadi dilema, barangkali karena bercermin pada negara-negara maju sehingga alpa memelihara kearifan di nusantara sendiri. Disrupsi teknologi telah mengubah potret pendidikan Indonesia yang menyedihkan, adanya kasus murid mempersekusi guru, mahasiswa membunuh dosen, pendidik dan pengajar yang bertindak tidak pantas kepada peserta didik, dan semua itu dengan cepat menjadi viral di era Internet of Things saat ini.

Banyak faktor yang menjadi penghalang kebangkitan pendidikan di negeri zamrud khatulistiwa ini, namun sampai kapan hal itu dapat dibenahi? Apakah lecutan kolonilasime mampu membangkitkan kembali pendidikan kita? Dan haruskah kita dijajah kembali agar bangkit? Bukankah saat ini memang penjajahan muncul kembali dalam ruang dan waktu yang diberi titel “digital”? Mari bersama kita merenung dan bertindak yang bijaksana dalam mewujudkan pendidikan Indonesia yang energik, bermoral, dan bermartabat. 

Selamat memperingati 111 tahun Hari Kebangkitan Nasional Indonesia!

“Angka 111 kali ini penulis kaitkan dengan peristiwa Sumpah Pemuda, 1 Tanah Air, 1 Bangsa, dan 1 Bahasa, yaitu Indonesia.”

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun