Mohon tunggu...
kisno umbar
kisno umbar Mohon Tunggu... -

saya adalah pemuda kelahiran tanah melayu. tapi sebagian hidup saya di tawah jawa

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Apa Pendapat Anda tentang “WISUDA”?

21 Desember 2014   18:36 Diperbarui: 17 Juni 2015   14:48 239
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

“Puncak kebanggaan seseorang, ketika dia mampu mencapai hal yang diinginkan”. 

Wisuda, sebuah istilah yang tidak asing bagi kita yang pernah mengenyam bangku pendidikan. Sejak kecil pun, anak-anak sudah dikenalkan dengan istilah tersebut melalui pendidikan taman kanak-kanak. Pendidian dasar juga mengenal hal sama, setelah mereka lulus kemudian diresmikan melalui sebuah prosesi yang disebut wisuda. Hal ini tidak jauh beda dengan prosesi yang digelar pada siswa SLTP maupun SLTA. Tak pandang itu sebuah yayasan pendidikan formal maupun informal. Acara wisuda Seolah-olah sudah menjadi sebuah budaya mereka semua.

Istilah wisuda tidak hanya diperdengarkan dimasa siswa saja. Dalam kalangan mahasiswa, istilah wisuda masih menjadi trending topik, kapanpun dan dimanapun. Wisuda bagi mereka, menjadi sebuah kebanggan tersendiri. Demikian ini berbeda dengan yang dirasa sesok siswa. Di masa siswa, kita tidak akan menemukan sebuah ibuhan (baca: gelar) dibelakang nama, tetapi sekarang sosok mahasiswa yang telah diwisuda akan mendapat imbuhan baru diakhir namanya. Suatu symbol, bahwa seseorang itu telah menguasai sebuah keilmuan tertentu.

Mahasiswa yang telah diwisuda, berarti dinyatakan resmi menyandang gelar baru yang didapat di bangku akademiknya. Sebuah gelar sebagai golongan intelektual Indonesia, yang nantinya diharapkan menjadi agent of change dan agent of social control. Dalam prosesi wisuda, demikian ini dilambangkan dengan memindahkan tali (tassel) dari kiri ke kanan.

Tingkat kebanggan mahasiswa yang telah diwisuda jangan disamakan dengan sosok siswa. Tingkat kebanggaan yang jauh lebih besar tentu diimbangi dengan sebuah perjuangan yang sangat keras. Jika sosok siswa, titik kesusahan berada sebelum diwisuda, tetapi pada mahasiswa tidak demikian, beban yang diterima jutru lebih besar pacsa wisuda. Karena gelar yang telah diperolehnya akan menjadi taruhannya.

Dunia nyata bagi seorang sarjana dapat dilihat dengan pasca wisuda. Mampukah dia menyandang gelar keintelektualan yang telah diperolehnya. Ataukah gelar itu sebuah gelar abal-abal yang menjadi formalitas akademis. Persitiwa ini, tak asing bagi kita, sosok seorang yang akademis menjadi seorang pengangguran terselubung atau pengangguran terbuka sering ditemukan di perkotaan maupun pedesaan.

Inilah yang seharusnya menjadi bahan evaluasi bagi semua universitas, institute, maupun sekolah tinggi. Mereka seharusnya mengevaluasi, bagaimana lulusan-lulusan yang telah dicetaknya, apakah sesuai dengan tujuan dari pelaksanaan sistem pembelajran dan visi misi kampus. Peristiwa seperti ini, jika tidak segera dibenahi, dampak yang akan ditimbulkantentu mengurangi tingkat eksistensi sebuah institusi kampus, lebih fatal lagi kalau terjadi penurunan tingkat kepercayaan masyarakat pada lembaga kampus.

Setidaknya sebuah institusi kampus mampu mampu melakukan rekasa akademis dan membawa mahasiswanya menuju kehidupan yang nyata dalam tipologi masyarakat kampus yang sederhana. Setidaknya itu akan menjadi bekal tersendiri, selain keilmuan yang telah dipelajari. Karena ketika kita berada masyarakat keilmuan tanpa kepekaan social tidak akan pernah dibutuhkan, atau justru menjadi sebuah sampah.

Problema Pengangguran Intelektual

Perkembangan dunia kerja yang semakin pesat, harus merubah maindset lulusan sarjana tidak lagi mencari kerja tetapi harus menciptakan lapangan pekerjaan. Karena dunia kerja tak mampu menampung seluruh lulusan institusi kampus secara menyeluruh. Apalagi kerja semakin cangggih, dengan sistem perekrutan yang terkadang tak sehat, merebut beberapa peluang sehat bagi sarjanawan.

Cerdas dalam dunia akademis, tidak dapat menjadi jaminan mutlak seseorang sajanawan diterima di lapangan kerja secara mulus. Kecerdasan yang dimilikinya masih dapat dikalahkan dengan uang (baca: sogokan). Demikian ini, bukan lagi menjadi hal yang tabu bagi dunia pekerjaan, dan bahkan sudah menjadi budaya yang mengakar di Indonesia. Sistem demikian ini sesungguhnya tidak hanya berlaku dalam dunia pekerjaan, melainkan di dunia pendidikan pun sering terjadi. Hasilnya pun dapat dilihat, kalau dia menjadi karyawan, tentu karyawan sangat sangat tidak kompeten. Karena uang, misi utamanya dan kalau dia menjadi mahasiswa, tentu gelar yang diperloehnya hanya sebuah nama tanpa makna.

Setiap tahun, semua kampus yang ada di Indonesia meluluskan ribuan sarjanya. Jumlah lapangan pekerjaan yang ada di Indonesia masih sangat minim, terbukti dengan adanya banyak tenaga kerja Indonesia yang secara illegal menjadi pekera asing (TKI). Jika dikalkulasikan, potensi pengangguran tentu lebih banyak ketimbang mereka yang berhasil masuk dalam dunia kerja. Mereka yang tidak masuk dalam dunia kerja, tentu akan mengalami proses penantian. Di tahun mendatang ribuan kampus yang ada di Indonesia meluluskan jumlah wisudawannya. Dari sini dapat diprekdisikan, jika tidak ada lapangan kerja yang menampung lulusan sarjana maka angka pengangguran terus meningktat setiap tahunnya. Jika angka pengangguran meningkat, berarti pendapatan perkapita perlahan akan menurun.

Kehadiran sarjanawan yang seharusnya menjadi solusi bagi seluruh kendala bangsa, ternyata masih belum mampu mengemban amanat itu. Justru kebanyakan mereka menjadi pengangguran intelektual (pengagguran terbuka). Pengangguran inilah justru yang lebih berbahaya, ketimbang pengangguran dari seseorang yang tidak mengenal kehidupan akademis. Karena pengangguran menjadi factor terbesar terjadinya sebuah kriminalitas. Stop Pengangguran Intelektul.

Solusi Kreatif Menjadi Sarjana Produktif

Mayoritas mahasiswa menuntut ilmu diluar kota, bahkan di kota-kota besar yang menjadi minat banyak orang. Mereka memiliki kepuasan tersendiri menuntut ilmu di tempat jauh, belajar hidup mandiri untuk segalnya. Sehingga keberadaan kita terlepas dari controlling orang tua. Jika demikian, yang mampu mengontrol diri kita, adalah diri kita sendiri.

Menjadi mahasiswa yang kreatif, haruslah dibangun melalui kepekeaan sosial. Dan kepekaan sosial itu tidaklah dapat tumbuh, tanpa adanya pembiasaan. Lagi-lagi itu membutuhkan suatu proses. Karena pada hakekatnya di dunia ini tidak ada yang instan.

Langkah awal, untuk menjadi mahasiswa kreatif dan produktif; kembalilah ke kampung halaman pasca wisuda, karena pada dasaranya kampung halaman membutuhkan kita, apalagi yang berada di pedesaan. Mulailah mengembangkan hal yang bersifat sederhana, semisal dalam bidang pendidikan, ataupun perekonomian. Jalinlah komunikasi yang erat dengan siapapun di desa, dan terapkanlah ilmu sosial dengan baik.

Tak jarang kita dapati, sosok mahasiswa pasca wisuda tidak kembali ke kampung halaman, dengan dalih tidak memperoleh kerja, ataupun belum sukses. Ada juga yang sudah sukses tetapi tidak ingin kembali kedesanya. Dari sinilah kita harus memahami, dimana kita harus memosisikan diri kita. Kita tidak boleh gengsi kembali ke desa. Justru keberadaan seorang intelektual itu sangat dibutuhkan di desa-desa untuk membangun suatu tatanan masytakat kecil. Kalau di kota seakan-akan semua orang intelektual, lantas bagaimana kita mampu menerapkan ilmu kita, yang ada justru kita akan menjadi pengangguran di kota.

Sedikit mengaca pada satu program besar yang digagas oleh Anies Baswedan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia mengajar. Sebuah kegiatan yang telah digagas beberapa tahun lalu. Kegiatan itu ternyata sangat dibutuhkan sekali untuk mencerdasakan bangsa khususnya yang berada ditempat yang plosok.

Langkah kedua yang dapat dilakukan adalah mencari teman dan membangun sebuah jaringan silaturrahim yang sangat luas. Caranya dengan mengenal semua orang yang pernah bertemu dengan kita secara baik dan ramah, karena pada suatu saat nanti kita akan membutuhkan keberadaan mereka. Dalam sebuah pembangunan link, kita membutuhkan keseriusan dan kepandaiana dalam berkomunikasi. Kepandaian komunikasi dapat dilakukan melalui tahap-tahap kecil, seperti pertemanan dengan teman-teman sebangku kuliah.

Dengan demikian makna sarjana bagi seorang mahasiswa bener-benar pantas untuk disandang. Tidak ada yang patut disombongkan karena semua pada dasaranya adalah sama. Seorang sarjana harus mampu melihat keatas dan kebawah kemudian berkaca atas keduanya. Sebuah kesuksesan itu didapati bukan saja karena kecerdasan tetapi keuletanlah yang utama.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun