Mohon tunggu...
Kismullah AM
Kismullah AM Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Peminat Sosial Budaya, Sastra dan Bahasa

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Kata Kasar di Indonesian Idol

30 April 2014   09:22 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:02 1432
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Beberapa waktu yang lalu, dalam tayangan langsung sebuah episode acara Indonesian Idol di sebuah televisi swasta, terlontar kata-kata yang terasa tidak pantas dari mulut salah seorang juri. “B*j*ngan … b*j*ngan kamu … ini yang namanya laki-laki b*j*ngan … b*j*ngan kamu, lagu Anang kok bisa enak!” Begitu kira-kira yang keluar dari mulut Ahmad Dhani yang akhirnya disambut gelak tawa audien yang ada di studio.

Konon, belakangan Dhani mendapat teguran dari produser untuk tidak lagi menggunakan kata-kata yang tidak santun dan tidak pantas. Tapi menariknya, Dhani membela diri pada episode berikutnya dan mengatakan bahwa pada saat dia menggunakan kata ‘b*j*ngan’ itu dia tidak memaksudkannya untuk sumpah serapah dan untuk menghina sang kontestan yang baru selasai tampil.

Argumen Dhani sangat benar, dan kalau audien atau siapapun yang mendengar pada saat itu akan memahami bahwa maksud Dhani bukan untuk mengumpat ataupun menghina Virzha, sang kontestan. Ini semua terbingkai dengan sangat apik dalam kontek yang memungkinkan makna ‘bajingan’ itu tidak lagi tabu dan tidak lagi mengandung makna pejoratif meskipun kata ‘bajingan’ itu merupakan kata tabu bila ia berdiri sendiri tanpa kontek.

Penggunaan kata swearwords (sumpah-serapah) sangat didikte oleh konteks, sehingga dia bisa berfungsi sebagai sumpah-serapah atau penghinaan, ekspresi terkejut, dan ekspresi perasaan gembira yang sangat kuat. Dalam konteks Dhani, tentu makna dan fungsi ketigalah yang sangat masuk.

Konteksnya tentu saja candaan, di mana Dhani ingin meledek Anang yang lagunya ‘Aku Lelakimu’ baru saja dinyanyikan dengan bagus oleh Virzha. Cuma saja Dhani mengambil resiko dengan menunda untuk melengkapi kalimatnya dan membiarkan pemirsa membelalakkan matanya, bingung dan tidak percaya dengan apa yang mereka dengar. Dia malah mengulang sampai tiga kali kata –kata bajingan ini dalam frasa yang agak sedikit berbeda. Tentunya ini memberikan sedikit rasa was-was bagi siapa saja yang sedang menyimak acara tersebut, baik bagi audien maupun pemirsa di rumah. Tetapi setelah beberapa saat, Dhani melengkapi kalimatnya dan kesan tabunya tidak terasa lagi, seolah tertutup dengan unsur komik yang muncul kemudian.

Kepiawaian penggunaan bahasa seperti ini memang sangat berguna dan harus dipahami serta dikuasai oleh insan pengguna rhetorik apalagi yang profesinya berorientasi pada media. Akan halnya Dhani yang menunda-nunda kelengkapan ungkapannya, itu merupakan salah satu aksi untuk dramatisasi yang menjadi daya tarik tersendiri daripada acara ini pada saat itu. Sebelum Dhani melengkapi ungkapannya pasti semua orang emosi, marah, dan berpikir Dhani sudah melampaui batas dan tidak punya sopan santun dalam berbicara.

Ini merupakan taktik riskan Dhani, sadar atau tidak sadar, yang sangat berhasil. Pada saat sebuah acara berhasil mengundang keterlibatan emosional pemirsa, apalagi sanggup mencampur aduk marah dan gembira, tangis dan tawa, dan sebagainya, acara tersebut pasti akan lebih berdaya tarik. Pada saat konteksnya pas, yang tabu menjadi pantas. Tapi kalau konteksnya tidak pas yang santun dan pantas pun terasa tidak layak.

Namun, pertanyaannya tetap saja, apakah kata-kata yang kita anggap kata-kata kotor ini boleh lulus sensor dan digunakan dalam program televisi nasional yang ditonton oleh semua umur? Apakah konteks bisa menjadi ‘tiket masuk’ kata-kata kotor dan tabu ke dalam dunia pertelevisian?

Tentu saja kita akan memiliki jawaban yang berbeda dengan memandang dari berbagai sudut. Tapi satu yang harus menjadi perhatian kita adalah sikap permisif dalam masyarakat kita sudah begitu tinggi sehingga banyak hal yang dulu tabu sekarang menjadi layak. Banyak kalangan yang senang dengan fenomena ini dan menganggap ini bukan masalah.

Alasannya, ini adalah awal dari kemajuan dan batu loncatan terhadap keterbukaan untuk menyesuaikan diri dengan dunia modern. Tapi di lain pihak, kita harus menangisi tragedi demi tragedi yang menimpa moralitas masyarakat kita, terutama melihat gejala yang ada di kalangan remaja sebagai generasi penerus, termasuk yang paling menyayat, yaitu yang terjadi di Jakarta International School baru-baru ini. Yang terungkap di media tentu hanya puncak gunung es yang sebenarnya mewakili banyak sekali kasus dan ragamnya yang tidak terlihat.

Bahasa merupakan sugesti yang sangat kuat bagi perilaku. Memberikan ruang untuk bahasa yang mengandung stigma negatif untuk naik ke dalam ke ranah publik seperti media baik cetak maupun elektronik adalah isyarat awal percepatan daripada kelonggaran kita terhadap perilaku-perilaku negatif yang diasosiasikan dengan bahasa dan kata-kata tersebut. Ini tentu tidak hanya terbatas pada kata-kata ‘b*j*ngan’, tapi banyak kata-kata dan lelucon yang rada ‘nyerempet’ lain yang dengan alasan konteks bisa bebas berwara-wiri di media pertelevisian.

Ada sebuah kata bijak klasik yang perlu menjadi perhatian kita tentang proses pendidikan anak sebagai generasi penerus. “It takes a village to raise a child”. Untuk mendidik dan membesarkan anak itu, tidak hanya cukup orang tua ataupun sekolah. Tetapi orang sekampung, atau sekelurahan, dan bahkan satu negeri harus terlibat untuk membesarkan anak tersebut.

Intinya, kita semua sebagai individu atau kolektif harus punya peran untuk berkontribusi bagi pendidikan anak-anak di lingkungan kita. Di sini termasuk media, yang sudah menjadi sumber informasi dan pengetahuan yang semakin penting bagi semua anggota masyarakat seiring dengan kemajuan teknologi komunikasi.

Kita harusnya peduli meski bukan anak sendiri. Karena salah asuh akibatnya nanti akan dirasakan oleh semua orang. Kita harusnya tidak abai terhadap hal yang yang kita anggap kecil. Robert Kennedy bilang “Every society gets the kind of criminal it deserves.” Di setiap masyarakat itu ada memang kejahatan yang pantas mereka dapatkan karena abai mereka. Hemat saya, pembiaran kita terhadap hal-hal kecil seperti ini akan mengakibatkan kita harus menanggung bencana moral yang akan terjadi ke depan.

Oleh karenanya, kita sangat berharap insan-insan pertelevisian memiliki kepekaan terhadap hal-hal kecil seperti ini agar tidak sampai memberikan contoh yang tidak baik bagi generasi muda kita. Sedikit atau banyak, para figur yang sering muncul di televisi terutama para artis lakon, seniman dan para musisi merupakan trendsetter bagi generasi penerus.

Jadi selain menunjukkan hal yang konstruktif dan memotivasi, juga hindarilah lakon dan aksi baik verbal maupun nonverbal yang mungkin mengarahkan kepada sugesti negatif, seperti penggunaan bahasa yang tidak baik dan kurang santun, sehingga fungsi mendidik media televisi menjadi lebih dominan dan bukannya menjadi bagian dari carut-marut moralitas bangsa dan menjadi sumber kekhawatiran tambahan bagi para orangtua.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun