[caption id="attachment_90210" align="aligncenter" width="400" caption="selbyfood.blogspot.com"][/caption] Setiap pagi Lala selalu setia menanti bunyi 'toet-toet' yang berasal dari terompet kecil di gerobak roti Bang Mi'un, tukang roti keliling langganan ibu. Tepat pukul enam lebih lima belas menit Bang Mi'un akan lewat di depan rumahnya sambil membunyikan terompet kecil itu. Lalu Lala yang sudah siap dengan seragam merah putihnya itu akan berlari-lari keluar rumah untuk menyambutnya. Ibu sudah tahu kebiasaan Lala itu, makanya ibu tidak pernah berusaha untuk ikut keluar untuk mengambil sebungkus roti tawar dari Bang Mi'un untuk sarapan keluarga mereka itu. Entah mengapa Lala suka sekali bercakap-cakap dengan Bang Mi'un yang sudah tua itu. Awalnya dulu mungkin karena Lala suka melihat gerobak Bang Mi'un yang bergambar seorang anak perempuan cantik berkuncir dua yang tengah memegang sebuah roti. Tapi kalau kemudian Lala selalu menunggu Bang Mi'un setiap pagi, ibu yakin sekali karena Bang Mi'un memang seorang laki-laki tua yang ramah dan suka bercerita. Pernah beberapa kali ibu mencuri dengar percakapan Lala dengan Bang Mi'un. Dan biasanya hal itu selalu membuat ibu senyum-senyum dikulum. Rasanya lucu saja bagi ibu mendengarkan seorang anak berusia enam tahun yang asyik sekali bercakap-cakap dengan seorang laki-laki tua yang pantas menjadi kakeknya itu. Tapi Bang Mi'un memang orang yang menyenangkan. Dia tidak pernah menganggap Lala seorang anak kecil yang tidak tahu apa-apa. Percakapan mereka selalu layaknya seperti percakapan dua orang yang memiliki kesukaan yang sama. Asyik sekali. "Bang, ini gambar anak Bang Mi'un, ya?" tanya Lala suatu hari sambil menunjuk gambar anak perempuan di gerobaknya itu. Walaupun umur mereka terbentang jauh, Lala selalu memanggil Bang Mi'un dengan sebutan 'Bang' dan bukan 'Pak'. Itu karena semua warga komplek perumahan itu memang menyapanya dengan panggilan Bang Mi'un. Bang Mi'un tertawa terkekeh mendengar pertanyaan Lala itu. Dia turun dari gerobaknya lalu berjalan mengitari gerobak menuju gambar anak perempuan yang ada di bagian samping itu. "Bukan. Ini gambar neng Lala," jawabnya sambil tersenyum. "Ah, bohong! Aku kan nggak kayak gitu! Rambutku pendek, yang ini panjang!" Lala protes. Bang Mi'un tertawa mendengarnya. "Iya, waktu ngegambarnya Bang Mi'un lupa rambut neng Lala pendek apa panjang, ya? Soalnya sama aja cakepnya," jawab Bang Mi'un tidak kehilangan akal. "Kenapa nggak gambar anaknya sendiri aja?" tanya Lala lagi. Bang Mi'un tampak berpikir sejenak sebelum bisa menjawab pertanyaan Lala. "Anak Bang Mi'un udah gede. Nggak pantes digambar di gerobak. Dianya juga nggak bakalan mau. Malu katanya," kata Bang Mi'un kemudian. Biasanya percakapan mereka akan terhenti kalau ibu sudah berteriak memanggil Lala untuk segera membawa masuk roti yang akan menjadi sarapan mereka itu. --- Pagi itu jam sudah menunjukkan pukul enam tiga puluh, tapi Bang Mi'un belum juga lewat di depan rumah. Lala gelisah. Padahal ibu sudah memasak nasi goreng untuk sarapan mereka. Lala masih saja berdiri di teras menunggu kedatangan Bang Mi'un. "Lala, sarapan dulu! Nanti terlambat!" ajak ibu. "Bang Mi'un kok belum datang ya, bu?" tanya Lala resah. "Lagi nggak jualan mungkin. Ini ibu udah masak nasi goreng, ayo makan!" kata ibu. Lala duduk di kursi meja makan dengan tidak bersemangat. Disuapnya sesendok nasi goreng yang masih mengepulkan asap itu. Ibu menatapnya dengan heran. Tidak biasa-biasanya Lala menyambut hari dengan tidak semangat seperti pagi ini. "Lala kenapa?" tanya ibu. "Anak Bang Mi'un masa malu bu kalau mukanya digambar di gerobak rotinya," kata Lala kemudian. Ibu melongo. Jawaban Lala sedikit aneh buat ibu. Kenapa tiba-tiba Lala bicara soal anaknya Bang Mi'un? "Kenapa?" tanya Lala lagi. Ibu diam sejenak untuk berpikir. Pertanyaan Lala masih terasa aneh dalam pikiran ibu. Kenapa tiba-tiba saja Lala memikirkan Bang Mi'un dan gerobaknya? Belum sempat ibu menjawab, tiba-tiba sebuah suara dari pengeras suara musholla di belakang rumah terdengar. "Assalamu'alaikum Warahmatullaahi Wabarakaatuh! Innalillaahi wa inna ilaihi rooji'uun. Telah berpulang ke Rahmatullah Bapak Sami'un bin Komar Awaluddin tadi malam pukul sepuluh. Almarhum adalah warga kampung Cipaku, RT 10, RW 002. Jenazah akan dimakamkan di TPU Kali Amis ba'da dzuhur." Lala terbelalak menatap ibu. Ibu juga terdiam mendengar pengumuman itu. Mata Lala tiba-tiba saja sudah berkaca-kaca. Dia menundukkan kepalanya di meja makan. "Itu Bang Mi'un ya, bu?" tanya Lala pelan. "Sepertinya iya, sayang," jawab ibu lemah. Ibu sedih sekali melihat kehilangan Lala yang begitu besar atas kepergian Bang Mi'un. Ibu segera beranjak keluar rumah menemui beberapa warga yang ada di jalan. Ibu menanyakan sesuatu pada mereka. Tak lama kemudian ibu kembali masuk. "Lala, itu benar Bang Mi'un yang meninggal dunia. Lala mau ikut melayat ke rumahnya? Nanti ibu minta ijin sama guru Lala di sekolah," kata ibu dengan muka sedih. "Mau!" jawab Lala cepat. --- Pendi duduk diam di depan jenazah bapaknya. Sesekali dia menerima salam dari beberapa tamu yang datang ke rumah itu untuk mengucapkan belasungkawa padanya. Bapaknya, Bang Mi'un si tukang roti keliling telah berpulang karena serangan jantung semalam. Pendi teringat percakapan terakhirnya dengan sang bapak. "Minta duit, Pak!" "Bakal apaan?" "Beli hape!" "Pen, lu anak tukang roti, jangan gaya kayak anak orang punye! Bagus lu masih bisa kuliah!" "Temen Pendi gak ada yang tau kok kalo bapak tukang roti. Kalo sampe tau Pendi malu, pan? Makanya Pendi kudu punya hape, pak!" Bang Mi'un diam mendengar kata-kata Pendi yang seperti pisau menusuk tajam ke ulu hatinya itu. Ini bukan pertama kalinya Pendi bilang kalau dia malu punya bapak tukang roti keliling. Tapi Bang Mi'un selalu diam tak berdaya. Baginya yang terpenting Pendi bisa kuliah dan jadi orang, tidak seperti dirinya yang hanya tukang roti. Â Bang Mi'un lalu mengeluarkan beberapa lembar uang dari balik kopiahnya dan memberikannya pada Pendi. "Cuma segini duit bapak. Kalo kagak cukup, sabar dikit. Bulan depan banyak yang bayar utangan roti," katanya. "Assalamu'alaikum!" Pendi mendongak mendengar salam itu. Seorang ibu dengan anak perempuannya masuk ke dalam rumah kecil mereka. Ibu itu berjalan mendekati Pendi lalu duduk bersimpuh di sampingnya. Anak perempuan di sampingnya ikut duduk sambil matanya tak lepas memandang jenazah bapaknya. "Ikut berduka cita ya, nak. Semoga arwah Bang Mi'un diterima di sisi Allah. Dia orang baik," kata ibu itu. Pendi menganggukkan kepalanya. Entah sudah berapa kali dia mendengar kalimat yang sama sedari malam. Ibu itu berdo'a sejenak sambil menundukkan kepalanya. Tak lama ia berdiri sambil menyelipkan selembar amplop ke tangan Pendi. Anak perempuannya ikut berdiri. Tapi dia menatap Pendi dengan tatapan yang aneh. "Ayo, Lala," ajak ibu. "Kata Bang Mi'un abang malu muka abang digambar di gerobak rotinya. Kenapa, bang?" tanya Lala. Ibu menarik tangan Lala memaksanya untuk ikut keluar. Dipaksakannya tersenyum pada Pendi. Mereka berdua keluar dari rumah itu. Meninggalkan Pendi yang termangu karena pertanyaan gadis kecil itu yang tak akan pernah mampu dijawabnya. ---
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H