Mohon tunggu...
Kirana Muliya
Kirana Muliya Mohon Tunggu... Mahasiswa - Pencari makna di tengah hiruk-pikuk kehidupan

Seorang pemimpi yang berkelana di antara realita dan imajinasi. Aku percaya bahwa hidup itu seperti playlist: penuh dengan lagu-lagu yang berbeda, dan setiap momen adalah kesempatan untuk menambah lagu baru.

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Kesehatan Mental Dalam Hustle Culture Melalui Perspektif Sosiologi Kesehatan

3 Desember 2024   12:14 Diperbarui: 10 Desember 2024   18:20 186
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Sumber: https://id.pinterest.com/pin/1043075963669477847/)

Hustle culture, atau budaya kerja keras tanpa henti telah menjadi fenomena yang mendominasi banyak sektor kehidupan masyarakat modern terutama di kalangan generasi muda. Istilah ini mengacu pada gaya hidup yang sangat mengutamakan produktivitas, posisi kesuksesan sering diukur dengan seberapa banyak waktu yang dihabiskan untuk bekerja dan berusaha. Dalam hal ini, istirahat atau waktu luang sering dianggap sebagai hal yang kurang produktif bahkan dianggap sebagai kelemahan. Namun, di balik kerja keras tersebut terdapat dampak negatif yang tidak bisa diabaikan terutama terkait dengan kesehatan mental individu. Melalui perspektif sosiologi kesehatan, artikel ini akan mengkaji bagaimana hustle culture berdampak pada kesehatan mental serta bagaimana tekanan sosial yang ditimbulkan dapat merusak kesejahteraan psikologis seseorang.

Hustle culture berkembang seiring dengan dominasi kapitalisme yang menjadikan produktivitas sebagai tolok ukur utama dalam menilai kesuksesan seseorang. Dengan berkembangnya teknologi, tekanan untuk selalu tersedia dan bekerja sepanjang waktu semakin dirasakan banyak orang. Media sosial turut memperparah keadaan ini dengan terus menggembar-gemborkan konsep kesuksesan yang sering kali tidak realistis, mendorong orang untuk merasa bahwa mereka harus terus bekerja lebih keras demi mencapai apa yang disebut sebagai "keberhasilan". Namun, di balik narasi tersebut hustle culture tidak hanya memberikan dampak pada fisik tetapi juga mengancam kesehatan mental secara serius.

Sebagai mahasiswa sosiologi, kita perlu memahami bahwa hustle culture bukan hanya sekadar fenomena individu, melainkan juga sebuah konstruksi sosial yang dibentuk oleh norma dan ekspektasi masyarakat. Dalam hal ini, sosiologi kesehatan mengajarkan kita bahwa kesehatan bukan hanya masalah biologis tetapi juga dipengaruhi oleh faktor-faktor sosial. Kesehatan mental dan kesejahteraan individu tidak dapat dipisahkan dari  berbagai aspek seperti faktor genetik, hubungan sosial, gaya hidup, pekerjaan, serta aspek sosial, ekonomi, budaya, politik, pendidikan, dan lingkungan yang lebih luas (Rifani & Rahadi, 2021).  Oleh karena itu, hustle culture dapat dipandang sebagai penyebab munculnya gangguan kesehatan mental, seperti stres dan kecemasan.

Hustle culture dapat berdampak buruk pada kesehatan mental individu, karena budaya ini mengajarkan bahwa seseorang harus terus bekerja dan berjuang meskipun tubuh dan pikiran sudah menunjukkan tanda-tanda kelelahan. Dalam sosiologi kesehatan, fenomena ini dapat dilihat melalui teori the sick role yang diperkenalkan oleh Talcott Parsons bahwa "illness is one of the most important withdrawal behaviors in our society" Varul (2010), yang menunjukkan bahwa sakit memungkinkan individu untuk menarik diri dari peran sosial mereka. Namun, dalam budaya kerja keras ini mereka yang merasa lelah atau membutuhkan istirahat malah sering kali dianggap sebagai orang yang malas atau tidak berdedikasi.

Selain itu, hustle culture juga berkaitan dengan fenomena burnout yaitu kelelahan ekstrim akibat tekanan kerja yang berlebihan. Burnout sering terjadi pada individu yang terus-menerus menekan diri untuk bekerja lebih keras tanpa memberi ruang untuk istirahat atau bersantai. Kondisi ini memicu stres yang berkepanjangan dan dapat menyebabkan penurunan kualitas hidup. Dalam jangka panjang, burnout dapat berdampak serius pada kesehatan mental seseorang termasuk gangguan kecemasan dan depresi. Jika tidak ditangani, kondisi ini juga dapat berkembang menjadi masalah psikologis yang lebih berat. Oleh karena itu, penting untuk menciptakan keseimbangan antara pekerjaan dan waktu istirahat agar mencegah dampak buruk dari burnout.

Sosiologi kesehatan mengajarkan kita bahwa kesehatan mental dipengaruhi oleh lebih dari sekadar faktor individu, tetapi juga oleh faktor sosial dan ekonomi. Hustle culture, sebagai bagian dari struktur sosial menciptakan norma yang menuntut individu untuk bekerja tanpa henti. Hal ini sering kali mengabaikan kebutuhan untuk merawat kesehatan mental. Dari perspektif ini, gangguan kesehatan mental yang muncul akibat hustle culture bukanlah sekadar masalah pribadi. Masalah ini lebih terkait dengan sistem sosial dan ekspektasi yang ada di masyarakat. Oleh karena itu, gangguan kesehatan mental akibat hustle culture harus dilihat sebagai isu sosial yang memerlukan perhatian kolektif.

Menurut Rifani dan Rahadi (2021), kesehatan mental dan kesejahteraan individu dipengaruhi oleh berbagai faktor termasuk genetika, hubungan sosial, gaya hidup, pekerjaan, serta aspek sosial, ekonomi, budaya, politik, pendidikan, dan lingkungan. Oleh karena itu, kondisi sosial yang mendorong budaya kerja tanpa henti dapat memperburuk ketimpangan sosial terkait akses terhadap layanan kesehatan mental. Kelompok dengan status sosial lebih rendah sering kali terjebak dalam tekanan untuk bekerja lebih keras demi memenuhi kebutuhan dasar, sementara mereka yang berada pada posisi sosial lebih tinggi cenderung memiliki keistimewaan untuk mendapatkan akses lebih baik terhadap perawatan diri dan dukungan psikologis yang mereka butuhkan.

Untuk mengatasi dampak negatif hustle culture terhadap kesehatan mental, kita perlu mengubah cara pandang terhadap kesuksesan. Selama ini, kesuksesan seringkali diukur dari seberapa banyak waktu yang dihabiskan untuk bekerja padahal istirahat dan kesehatan mental juga penting. Sosiologi kesehatan berperan dalam menggugah kesadaran bahwa kesehatan mental harus menjadi prioritas, baik untuk individu maupun masyarakat. Dengan mengubah paradigma ini, kita bisa menciptakan lingkungan yang lebih mendukung kesejahteraan psikologis. Perubahan ini tidak hanya membutuhkan upaya dari individu, tetapi juga dukungan dari lembaga seperti perusahaan, institusi pendidikan, dan pemerintah. Dengan pendekatan yang lebih seimbang, kita dapat mendorong terciptanya masyarakat yang lebih peduli terhadap kesehatan mental dan kesejahteraan bersama.

Perubahan menuju keseimbangan hidup dan kesehatan mental membutuhkan kolaborasi dari berbagai pihak. Perusahaan perlu menciptakan kebijakan seperti jam kerja fleksibel, cuti pemulihan mental, dan fasilitas konseling untuk mendukung kesejahteraan karyawan. Pemerintah harus menyediakan layanan kesehatan mental yang terjangkau, meluncurkan kampanye nasional untuk mengurangi stigma, serta menerapkan regulasi kerja yang melindungi pekerja dari tekanan berlebihan. Institusi pendidikan juga memiliki peran penting dengan mengintegrasikan pendidikan tentang manajemen stres dan kesehatan mental, serta menyediakan layanan konseling bagi siswa. Semua pihak ini dapat bekerja sama untuk membentuk lingkungan sosial yang lebih peduli terhadap keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi, sehingga mengurangi dampak negatif dari hustle culture.

Hustle culture telah menjadi bagian dari kehidupan modern, tetapi dampak negatifnya terhadap kesehatan mental tidak boleh diabaikan. Dalam sosiologi kesehatan, kesehatan mental dipandang sebagai hasil konstruksi sosial yang dipengaruhi oleh norma, ekspektasi masyarakat, dan tekanan ekonomi. Kesadaran akan hal ini menunjukkan bahwa perubahan tidak hanya dapat dilakukan secara individu, tetapi juga melalui reformasi sosial dan kebijakan yang mendukung kesejahteraan psikologis. Dengan membangun kesadaran kolektif dan menciptakan lingkungan sosial yang sehat, kita dapat mendorong perubahan menuju masyarakat yang lebih peduli terhadap keseimbangan hidup dan kesehatan mental.

Referensi :

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun